Minggu, 29 April 2012

KRIMINALITAS SEBAGAI KEBUDAYAAN


Berbagai berita dan cerita tentang kerusuhan dan keberingasan massa, akhir- akhir ini telah menjadi wacana yang dominan dalam masyarakat kita. Sebagai satu bentuk aktivitas, dalam perspektif tertentu aktivitas tersebut dianggap sebagai krimi­nalitas massa.

Ekspos dan perhatian terhadap kejahatan massa tentu saja lebih besar dibanding dengan kejahatan individual. Di samping melibatkan manusia lebih banyak, pada umumnya kejahatan massa juga lebih terpantau dibanding kejahatan yang bersifat individual.

Bahkan dalam sebuah teori disebutkan bahwa sesungguhnya teori-teori yang dikembangkan tentang kriminalitas tidak begitu canggih. Hal tersebut terjadi karena teori yang dikembangkan berdasarkan data kejahatan yang terdeteksi atau diketahui. Padahal alangkah banyaknya bentuk dan jenis kejahatan yang tidak atau belum dike­tahui.

Berbagai analisis juga telah dilontarkan oleh para ahli sesuai dengan bidang kecenderungan dan perspektifnya masing-masing. Dalam tulisan ini, saya akan coba menguraikan bahwa terjadinya kejahatan itu tidak semata-mata sebagai kejahatan yang berifat insidental dan terpaksa, tetapi lebih dari itu adalah ketika kejahatan lebih sebagai kebudayaan.

* * *
Cukup banyak rumusan teoritik yang berkaitan dengan definisi kebudayaan. Secara disederhanakan dimaksudkan sebagai cara manusia/masyarakat dalam memahami, menghayati, mengekspresikan diri dan dunianya yang termanifestasikan dalam berbagai prilaku lahiriah maupun simbolis, sekaligus sebagai upaya mengatasi dan menyiasati berbagai permasalahan dalam hidupnya.

Perlu ditegaskan bahwa kebudayaan lebih sebagai proses akumulatif berkelan­jutan, walaupun pada dasarnya berkebudayaan merupakan proses belajar. Namun, itu tidak berarti kebudayaan yang telah terbentuk, ketika dipelajari dan dipraktikkan oleh generasi berikutnya harus kembali dari awal. Konsep tersebut sekaligus mengisyaratkan letak perbedaan kebudayaan di satu sisi dan peradaban di sisi lain, sisi-sisi mata uang. Sebagai ilustrasi, kebiasaan berpakaian, yang pada awalnya untuk mengatasi tantangan alam, pada akhirnya menjadi kebudayaan. Penemuan hingga model-model berpakaian telah didahului oleh suatu proses yang panjang. Karena telah menjadi kebudayaan, sebegitu jauh kita tidak merasa perlu mengulang bagaimana cara awal menemukan baju atau celana.

Namun, bagaimana baju dan celana tersebut diolah dan disajikan, di sinilah letak peradaban. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi bagaimana pakaian terse­but diolah dan ditampilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah "temuan teknologi", --teknologisasi--, yang pada dasarnya juga merupakan hasil dari proses kebudayaan. Tahap-tahap temuan teknologis itu merupakan peradaban. Dari tahap berpakaian ala kadarnya hingga bermacam-macam model dan estetika sedemi­kian rupa.

* * *
Persoalan awal, apakah keriminalitas merupakan kebudayaan? Dalam cerita lama kita mengenal bagaimana kejahatan pertama kali dilakukan manusia yakni ketika Kabil membunuh adiknya Habil. Terlepas dari berbagai sebab mengapa Kabil membunuh adiknya, yang jelas sebelumnya dia tidak pernah belajar bagaimana dan mengapa harus membunuh. Kabil tidak tahu bahwa akibat perbuatannya itu adiknya mati dan dinamakan pembunuhan.

Bahkan, mungkin pada waktu itu secara relatif perbuatan tersebut tidak lang­sung diketegorikan sebagai kejahatan. Karena konteks kejahatan secara langsung berkaitan dengan kemungkinan konsensus hukum yang berlaku dan diberlakukan, serta akibat yang ditimbulkannya kepada masyarakat dan lingkungannya. 

Yang jelas, suka atau tidak, ternyata di dalam diri manusia memiliki potensi "negatif", dalam arti berpotensi melakukan sesuatu yang kemudian dinamakan keja­hatan, jika ditinjau dari berbagai seginya. Ketika cara itu bisa dilakukan lagi, dalam prosesnya yang panjang ia menjadi cara manusia untuk "mengatasi" atau "menganti­sipasi" atau bahkan "menyelesaikan" problem hidupnya. Ia menjadi semacam kebu­dayaan. Karena kebudayaan berjalan dan berubah semakin kompleks, peradaban menjadi lebih canggih, tak urung, cara orang melakukan kejahatan dituntut semakin lihai. Yang berubah adalah bukan kualitas kriminalitas, tapi cara orang melakukan kejahatan serta respon masyarakat dalam memahami perangai kejahatan.

Katakanlah, dulu orang membunuh hanya memakai senjata tajam. Waktu itu, masyarakat meresponnya dengan agak terkejut. Ketika ditemukan senjata api, cara pembunuhan lebih mudah.  Masyarakat bertambah kompleks dan masalah yang ditimbulkan semakin rumit, kejahatan secara kuantitatif meningkat terus. Resikonya, apalagi didukung oleh pemberitaan media massa yang dapat dibaca dan didengar kapan pun dan di mana pun, masyarakat semakin terbiasa dengan berbagai kejadian kejahatan.

Dalam hal ini respon masyarakat terkondisi dalam dua cara. Secara sosial masyarakat semakin tak acuh dengan berbagai kejadian yang terjadi dalam masyara­katnya, tetapi secara individual ia menuntut pengamanan maksimal bagi dirinya atas berbagai kejahatan. Itulah sebabnya, masyarakat mungkin semakin tak peduli dengan kejahatan pencurian, pemerkosaan, dsb., tetapi ia tidak pernah mentolelir jika keja­dian itu menimpa dirinya.

Konsekuensinya, bersamaan dengan kemudahan yang dimungkinan oleh tek­nologi yang dapat dipakai untuk melakukan kejahatan, teknologi pengamanan juga dipercanggih sedemikian rupa. Pecanggihan sistem pengamanan bukan saja pada teknologi dan sistemnya, tetapi dapat pula terjadi pada kemampuan masyarakat secara individual dan kolektif untuk mengantisipasinya.

Kondisi itu berbemerang ketika para kriminal dengan tidak berputus asa mempercanggih teknik (peralataan), cara, dan metode tindak kejahatan. Sebab dan alasan melakukan kejahatan juga semakin beragam. Hal tersebut terbukti hingga hari ini kriminalitas terus meningkat.

* * *
Sebegitu jauh, problem di atas mengandung sesuatu yang ironis. Ketika ma­syarakat semakin terbiasa hidup dalam suasana kejahatan, pada tataran tertentu ia tidak lagi dapat membedakan mana perbuatan yang dianggap jahat dan mana yang tidak. Tegas kata, bisa jadi masyarakat terjebak dan hidup dalam cara dan sistem kejahatan itu sendiri.

Penjelasannya demikian. Diakui bahwa akibat iptek, dalam banyak hal peruba­han sosial budaya memperlihatkan sisi peradaban yang menggembirakan. Teknologi kesehatan, pertanian, transportasi, listrik, peralatan rumah tangga, komputerisasi mekanisme kerja, komputerisasi birokrasi, dsb., bertambah baik. 

Akan tetapi, fenomena itu tidak mengurangi kenyataan bahwa sejumlah besar masyarakat Indonesia secara relatif hidup dalam konteks yang "pas-pasan". Yang jelas, jangankan kemampuan untuk mengatasi problem masyarakatnya, problem kejahatan misalnya, peluang untuk mengatasi problemnya sendiri sudah demikian sulit.

Akibatnya, masyarakat terutama untuk mengatasi problem kebutuhan ekono­misnya, hidup dalam berbagai cara tambal sulam serabutan, untuk tidak mengatakan terpaksa atau tidak menempuh jalur-jalur "ilegal". Padahal kita tahu jalur ilegal itu bagaimana pun merupakan kejahatan.

Bentuk kejadiannya bukan saja seperti korupsi, manipulasi, penindasan struk­tural dan mental, berbagai strategi ("tipu muslihat") bisnis, monopolisasi, tetapi lebih jauh adalah pula seperti perkelahian massal, kerusuhan nasional, kehidupan sosial politik yang tidak demokratis, apatisme sosial, dan sebagainya.

Berbagai prilaku illegal tersebut tidak hanya dimungkinkan oleh sistem dan birokrasi sosial yang longgar, tidak efisien dan efektif, tetapi lebih jauh justru mendapatkan legitimasinya dari mekanisme birokrasi "tahu sama tahu".

Tindak kejahatan akhirnya melingkar, menjerumuskan, memperangkap, se­hingga siapa pun ia, sadar atau tidak mengalami kesulitan untuk ke luar dari jaringan kejahatan itu. Tidak mustahil bagi yang mencoba ke luar dari permainan, justru dianggap aneh, sok suci, dll., dengan resiko terpencil atau dipencilkan.

Mau tidak mau, kita merupakan bagian atau bahkan subjek dari berbagai kejahatan yang menerpa. Tidak berlebihan jika saya percaya, sesungguhnya inilah yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. * * *




Tidak ada komentar:

Posting Komentar