Kita selalu diingatkan untuk juga memperhatikan para korban kejahatan yang selama ini agak terabaikan. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa ada kecenderungan selama ini masyarakat kita agak mengabaikan para korban kriminalitas. Hal tersebut barangkali berdasarkan asumsi bahwa bila sebuah kejahatan telah ditangani, dan pelaku kejahatan diproses sesuai dengan hukum, maka persoalan dianggap selesai.
Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu bagi korban
kejahatan. Memang, tentu saja penderitaan yang ditanggung korban kriminalitas
bergantung jenis kejahatan seperti apa yang menimpa dirinya. Walaupun begitu,
penyelesaian persoalan kriminalitas tidak semudah menangani dan menghukum
pelaku kejahatan. Para korban kejahatan justru
menuntut penanganan yang lebih serius, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan
yang dialami korban.
Dengan demikian, perlu kiranya mengidentifikasi siapakah
kiranya para korban kriminalitas itu, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan
yang dialaminya. Secara umum Stephen Schafer (Zvonimir Paul Separovic, 1985)
membagi kemungkinan korban ke dalam empat tipe.
Pertama, orang yang sesungguhnya tidak bersalah, tetapi
tetap menjadi korban. Untuk kejadian seperti ini, kesalahan tetap pada pihak
pelaku. Kedua, korban yang secara sadar atau tidak melakukan aktivitas tertentu
sehingga memancing atau mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan,
terutama pada dirinya. Karena korban dianggap memberikan andil, maka korban dan
pelaku kejahatan sama-sama bersalah, walaupun kadarnya berbeda.
Ketiga, tipe korban yang secara biologis dan sosial memang
lemah, sehingga memudahkan orang lain berbuat tidak baik kepada mereka. Sebagai contoh, orang tua, anak-anak, orang
cacat fisik/mental, orang miskin, golongan minoritas, dan sebagainya. Dalam hal
ini korban tidak dapat disalahkan. Masyarakat dan pemerintahlah yang secara
keseluruhan harus bertanggung jawab.
Keempat, korban yang letak kesalahan justru ada pada
korbannya sendiri. Biasa juga disebut kejahatan tanpa korban selain dirinya
sendiri. Sebagai misal, pelacuran, perjudian, dan sejenisnya. Dalam hal ini
yang dianggap bersalah adalah si korban yang sekaligus pelaku kejahatan.
Menarik memperhatikan pembaganan "teoretik"
tipe-tipe korban di atas. Apalagi jika dikaitkan dengan bentuk kriminalitas seperti
apa yang paling dominan dan signifikan dalam masyarakat kita. Untuk itu, ada
baiknya satu persatu dikaji beserta implikasi "teoretik" lain yang
relevan dengannya.
Sebagai mana kita ketahui, korban jenis pertama di atas
bukan cerita yang asing dalam kehidupan sosial. Banyak orang menanggung
kesalahan orang lain baik secara terpaksa atau tidak. Jika itu pilihan yang
disadari, mungkin lebih sebagai resiko yang diambil korban. Namun, jika
kejadian tersebut karena terpaksa, misalnya karena tekanan sosial, politis,
dan ekonomis, maka kekuatan dan keobjektifan hukum perlu dipersoalkan.
Demikian pula jika hal itu terjadi karena tipu muslihat,
karena hukum (objektif) tidak mampu membuktikan secara empirik dan teoretik
mana yang bersalah dan mana yang tidak, maka dalam hal ini justru hukum yang
secara langsung atau tidak dijadikan legitimasi untuk tindak kejahatan lebih
lanjut bagi yang sesungguhnya melakukan kejahatan.
Korban kriminalitas jenis kedua barangkali lebih umum
dibanding yang pertama. Dalam arti, apapun bentuk kejahatan, apakah itu
pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penodongan, dan sebagainya, jika dapat
dibayangkan bahwa korban secara sengaja atau tidak ikut memberikan andilnya,
maka dalam konteks ini kejahatan menemukan sosok aslinya.
Saya kira, korban kajahatan bentuk ketiga yang secara luas
perlu diperhitungkan karena pada sisi tertentu bentuk kriminalitas ini menjadi
bagian besar dari bentuk kejahatan pertama dan kedua sekaligus. Maksudnya,
bentuk kejahatan seperti ini bukan saja dapat menjadi satu fenomena budaya yang
lebih besar, tetapi sekaligus memakan
korban yang lebih besar pula.
Sebagai contoh, korban kejahatan pemerkosaan, baik dalam
pengertian umum maupun khusus, bukan semata-mata terjadinya penindasan dan
pemaksaan atas satu pihak kepada pihak yang lain. Tetapi lebih karena adanya
budaya dominasi dan atau kekuasaan atas satu pihak yang kuat kepada pihak yang
lemah. Di samping tentu saja beberapa faktor lain yang juga perlu
diperhitungkan, yang berkaitan dengan "naluri dasar" kemanusiaan,
jika teori tersebut dapat dibenarkan.
Jika persoalan tersebut dikaitkan pada kejadian yang lebih
besar, sama halnya jika ada satu kekuasaan politik yang dominan (negara) yang
represif berhadapan dengan rakyat. Sebagai contoh lain perlu juga disebutkan
seperti terjadinya kolonialisasi, imperealisasi, intervensi atas satu bangsa
kepada bangsa yang lain.
Sementara itu, korban kejahatan keempat lebih sebagai
kesalahan dan kejahatan individual. Walaupun kejahatan ini memakan korban
dirinya sendiri, tetapi pada tingkat lebih lanjut akan berakibat pada kesalahan
dan kejahatan lain. Katakanlah seperti perjudian, minum minuman keras. Tidak
jarang kejahatan individual ini akan menyebabkan kejahatan lain yang berdimensi
sosial.
* * *
Sebagaimana telah disinggung, ada kriminalitas lain yang
lebih besar yang justru perlu diantisipasi sedemikian rupa karena kejahatan
tersebut justru mengondisikan secara makro bentuk kejahatan lainnya secara
berantai. Kejahatan tersebut adalah ketika ada unsur kekuasaan politik-ekonomis,
yang kita tahu pada akhirnya serba menentukan itu, ikut campur tangan untuk
kepentingan dirinya, yang ditempuh dengan segala cara. Apakah itu berbagai
bentuk kekerasan politik, penindasan ekonomis, dan sebagainya.
Karena, pelaku kejahatan tersebut, walau dalam hal ini bisa
saja disebut sebagai "oknum", pihak pelaku kejahatan memiliki
kekuatan (baca: kekuasaan) untuk melakukan apa saja, tanpa ada kekuatan lain
yang dapat mengimbangi atau mengatasinya kecuali kekuatan dan itikat dari pelaku
kejahatan tersebut. Atau mungkin pada sisi tertentu kontrol dari masyarakat.
Walaupun kadang-kadang, karena strukturasi dan sosialisasi politis-ekonomis
yang telah berlangsung, dapat pula melemahkan keberadaan dan kekuatan
masyarakat sebagai pihak pengontrol. Sehingga pada akhirnya masyarakat tinggal
pasrah menjadi korban terus menerus.
Mempelajari berbagai identitas korban dan implikasi yang
terkait dengan persoalan tersebut, maka selayaknya diupayakan terjadinya
struktur yang berimbang bukan saja dalam pengertian terjadinya demokratisasi,
keadilan moral dan material, tetapi sekaligus kepastian hukum yang didukung
oleh satu sistem kekuasaan yang demokratis agar calon korban dan korban
mendapat perlindungan yang semestinya yang memang merupakan haknya.
Karena, seperti juga kita tahu, berbagai bentuk kejahatan
tidak semata-mata karena kejahatan itu sendiri. Akan tetapi, ada motif-motif
lain apakah itu berbau ekonomis, politis, atau agama. Seperti katakanlah pula
berbagai bentuk kerusuhan massa yang tidak mustahil sebagai korban yang
melakukan "kejahatan" karena mereka merupakan korban
"kejahatan" yang lebih besar.
Artinya, berbagai kerusuhan dan kebringasan massa yang terjadi
akhir-akhir ini misalnya, sebagai bentuk perlawanan, dalam berbagai motifnya.
Karena bukan hal mustahil jika sesungguhnya mereka adalah para korban yang
sedang melakukan upaya-upaya "revolusioner" untuk memperbaiki keadaan
agar kehidupan menjadi lebih baik.
Minimal, jika tujuan itu tidak tercapai, tidak sedikit orang
atau masyarakat yang ketika ia melakukan aktivitas tertentu, dan kemudian
aktivitas tersebut ternyata dianggap di luar prosedur, atau merugikan, atau
mendatangkan korban pada pihak lain, sedikit banyak bertujuan agar realitas
berpihak sesuai dengan apa yang bisa mereka bayangkan.
Itulah sebabnya, pada akhirnya, kita tidak dapat menyalahkan
begitu saja berbagai pelaku kejahatan dan, lebih-lebih korban kejahatan, yang
ditempatkan sebagai sasaran tunggal kesalahan ketika ada satu realitas sosial
yang dalam perspektif apapun adalah kesalahan, merugikan, dan oleh karenanya
sedapat mungkin dihindari, diredam, atau bahkan ditindas dengan kekerasan. * *
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar