Minggu, 29 April 2012

KORBAN-KORBAN KRIMINALITAS


Kita selalu diingatkan untuk juga memperhatikan para korban kejahatan yang selama ini agak terabaikan. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa ada kecen­derungan selama ini masyarakat kita agak mengabaikan para korban kriminalitas. Hal tersebut barangkali berdasarkan asumsi bahwa bila sebuah kejahatan telah ditan­gani, dan pelaku kejahatan diproses sesuai dengan hukum, maka persoalan dianggap selesai.

Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu bagi korban kejahatan. Memang, tentu saja penderitaan yang ditanggung korban kriminalitas bergantung jenis kejaha­tan seperti apa yang menimpa dirinya. Walaupun begitu, penyelesaian persoalan kriminalitas tidak semudah menangani dan menghukum pelaku kejahatan. Para korban kejahatan justru menuntut penanganan yang lebih serius, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan yang dialami korban.

Dengan demikian, perlu kiranya mengidentifikasi siapakah kiranya para korban kriminalitas itu, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan yang dialaminya. Secara umum Stephen Schafer (Zvonimir Paul Separovic, 1985) membagi kemungkinan korban ke dalam empat tipe.

Pertama, orang yang sesungguhnya tidak bersalah, tetapi tetap menjadi ko­rban. Untuk kejadian seperti ini, kesalahan tetap pada pihak pelaku. Kedua, korban yang secara sadar atau tidak melakukan aktivitas tertentu sehingga memancing atau mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan, terutama pada dirinya. Karena korban dianggap memberikan andil, maka korban dan pelaku kejahatan sama-sama bersalah, walaupun kadarnya berbeda.

Ketiga, tipe korban yang secara biologis dan sosial memang lemah, sehingga memudahkan orang lain berbuat tidak baik kepada mereka.  Sebagai contoh, orang tua, anak-anak, orang cacat fisik/mental, orang miskin, golongan minoritas, dan sebagainya. Dalam hal ini korban tidak dapat disalahkan. Masyarakat dan pemerin­tahlah yang secara keseluruhan harus bertanggung jawab.

Keempat, korban yang letak kesalahan justru ada pada korbannya sendiri. Biasa juga disebut kejahatan tanpa korban selain dirinya sendiri. Sebagai misal, pelacuran, perjudian, dan sejenisnya. Dalam hal ini yang dianggap bersalah adalah si korban yang sekaligus pelaku kejahatan.

Menarik memperhatikan pembaganan "teoretik" tipe-tipe korban di atas. Apalagi jika dikaitkan dengan bentuk kriminalitas seperti apa yang paling dominan dan signifikan dalam masyarakat kita. Untuk itu, ada baiknya satu persatu dikaji beserta implikasi "teoretik" lain yang relevan dengannya.

Sebagai mana kita ketahui, korban jenis pertama di atas bukan cerita yang asing dalam kehidupan sosial. Banyak orang menanggung kesalahan orang lain baik secara terpaksa atau tidak. Jika itu pilihan yang disadari, mungkin lebih sebagai resiko yang diambil korban. Namun, jika kejadian tersebut karena terpaksa, misaln­ya karena tekanan sosial, politis, dan ekonomis, maka kekuatan dan keobjektifan hukum perlu dipersoalkan.

Demikian pula jika hal itu terjadi karena tipu muslihat, karena hukum (objek­tif) tidak mampu membuktikan secara empirik dan teoretik mana yang bersalah dan mana yang tidak, maka dalam hal ini justru hukum yang secara langsung atau tidak dijadikan legitimasi untuk tindak kejahatan lebih lanjut bagi yang sesungguhnya melakukan kejahatan.

Korban kriminalitas jenis kedua barangkali lebih umum dibanding yang perta­ma. Dalam arti, apapun bentuk kejahatan, apakah itu pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penodongan, dan sebagainya, jika dapat dibayangkan bahwa korban secara sengaja atau tidak ikut memberikan andilnya, maka dalam konteks ini kejaha­tan menemukan sosok aslinya.

Saya kira, korban kajahatan bentuk ketiga yang secara luas perlu diperhitung­kan karena pada sisi tertentu bentuk kriminalitas ini menjadi bagian besar dari bentuk kejahatan pertama dan kedua sekaligus. Maksudnya, bentuk kejahatan seperti ini bukan saja dapat menjadi satu fenomena budaya yang lebih besar, tetapi sekaligus  memakan korban yang lebih besar pula.

Sebagai contoh, korban kejahatan pemerkosaan, baik dalam pengertian umum maupun khusus, bukan semata-mata terjadinya penindasan dan pemaksaan atas satu pihak kepada pihak yang lain. Tetapi lebih karena adanya budaya dominasi dan atau kekuasaan atas satu pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Di samping tentu saja beberapa faktor lain yang juga perlu diperhitungkan, yang berkaitan dengan "naluri dasar" kemanusiaan, jika teori tersebut dapat dibenarkan.

Jika persoalan tersebut dikaitkan pada kejadian yang lebih besar, sama halnya jika ada satu kekuasaan politik yang dominan (negara) yang represif berhadapan dengan rakyat. Sebagai contoh lain perlu juga disebutkan seperti terjadinya koloniali­sasi, imperealisasi, intervensi atas satu bangsa kepada bangsa yang lain.

Sementara itu, korban kejahatan keempat lebih sebagai kesalahan dan kejaha­tan individual. Walaupun kejahatan ini memakan korban dirinya sendiri, tetapi pada tingkat lebih lanjut akan berakibat pada kesalahan dan kejahatan lain. Katakanlah seperti perjudian, minum minuman keras. Tidak jarang kejahatan individual ini akan menyebabkan kejahatan lain yang berdimensi sosial.

* * *
Sebagaimana telah disinggung, ada kriminalitas lain yang lebih besar yang justru perlu diantisipasi sedemikian rupa karena kejahatan tersebut justru mengondi­sikan secara makro bentuk kejahatan lainnya secara berantai. Kejahatan tersebut adalah ketika ada unsur kekuasaan politik-ekonomis, yang kita tahu pada akhirnya serba menentukan itu, ikut campur tangan untuk kepentingan dirinya, yang ditempuh dengan segala cara. Apakah itu berbagai bentuk kekerasan politik, penindasan ekonomis, dan sebagainya.

Karena, pelaku kejahatan tersebut, walau dalam hal ini bisa saja disebut seba­gai "oknum", pihak pelaku kejahatan memiliki kekuatan (baca: kekuasaan) untuk melakukan apa saja, tanpa ada kekuatan lain yang dapat mengimbangi atau mengata­sinya kecuali kekuatan dan itikat dari pelaku kejahatan tersebut. Atau mungkin pada sisi tertentu kontrol dari masyarakat. Walaupun kadang-kadang, karena strukturasi dan sosialisasi politis-ekonomis yang telah berlangsung, dapat pula melemahkan keberadaan dan kekuatan masyarakat sebagai pihak pengontrol. Sehingga pada akhirnya masyarakat tinggal pasrah menjadi korban terus menerus.

Mempelajari berbagai identitas korban dan implikasi yang terkait dengan persoalan tersebut, maka selayaknya diupayakan terjadinya struktur yang berimbang bukan saja dalam pengertian terjadinya demokratisasi, keadilan moral dan material, tetapi sekaligus kepastian hukum yang didukung oleh satu sistem kekuasaan yang demokratis agar calon korban dan korban mendapat perlindungan yang semestinya yang memang merupakan haknya.

Karena, seperti juga kita tahu, berbagai bentuk kejahatan tidak semata-mata karena kejahatan itu sendiri. Akan tetapi, ada motif-motif lain apakah itu berbau ekonomis, politis, atau agama. Seperti katakanlah pula berbagai bentuk kerusuhan massa yang tidak mustahil sebagai korban yang melakukan "kejahatan" karena mereka merupakan korban "kejahatan" yang lebih besar.

Artinya, berbagai kerusuhan dan kebringasan massa yang terjadi akhir-akhir ini misalnya, sebagai bentuk perlawanan, dalam berbagai motifnya. Karena bukan hal mustahil jika sesungguhnya mereka adalah para korban yang sedang melakukan upaya-upaya "revolusioner" untuk memperbaiki keadaan agar kehidupan menjadi lebih baik.

Minimal, jika tujuan itu tidak tercapai, tidak sedikit orang atau masyarakat yang ketika ia melakukan aktivitas tertentu, dan kemudian aktivitas tersebut ternyata dianggap di luar prosedur, atau merugikan, atau mendatangkan korban pada pihak lain, sedikit banyak bertujuan agar realitas berpihak sesuai dengan apa yang bisa mereka bayangkan.

Itulah sebabnya, pada akhirnya, kita tidak dapat menyalahkan begitu saja berbagai pelaku kejahatan dan, lebih-lebih korban kejahatan, yang ditempatkan sebagai sasaran tunggal kesalahan ketika ada satu realitas sosial yang dalam perspek­tif apapun adalah kesalahan, merugikan, dan oleh karenanya sedapat mungkin dihin­dari, diredam, atau bahkan ditindas dengan kekerasan. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar