Minggu, 29 April 2012

WANITA, KRIMINALITAS, DAN GENDER


 Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat kita masih kaget, heran, dan penasaran jika dalam suatu tindakan kriminal, terutama disertai kekerasan, ternyata pelakunya wanita (atau sebutlah perempuan). Berbagai bentuk dan jenis media massa juga sering secara khusus mengambil sudut pandang "faktor kewanitaan" jika kebetulan terlibat dalam suatu aksi kejahatan.

Apakah rasa heran dan penasaran, serta sudut pandang "faktor kewanitaan", secara langsung memperlihatkan dimensi ketimpangan gender. Apalagi ketika disa­dari atau tidak kriminalitas/kejahatan seperti diandaikan sebagai perbuatan yang lazimnya dilakukan laki-laki.

Lebih jauh, jika diandaikan tidak terjadi persoalan ketimpangan gender, apakah wanita lantas memiliki keberanian yang sama untuk melakukan tindak kejahatan sehingga tindak kejahatan kekerasan bukan lagi semata-mata urusan laki-laki. Dengannya, jika ia melakukan kejahatan kekerasan tidak lagi sesuatu yang mengher­ankan.

Jika memang bukan demikian, persoalan lain apa yang membuat wanita memil­iki keterbatasan tertentu untuk melakukan kejahatan. Apakah kejahatan berdasarkan kodratnya (nature) membutuhkan faktor-faktor tertentu yang diandaikan hanya terpe­nuhi oleh nature laki-laki. Atau mungkinkah kejahatan bukan persoalan nature, tetapi lebih sebagai persoalan culture. Hal ini memang membutuhkan penejlsan tersendiri, khususnya jika kita percaya pada cerita Kabil yang membunuh Habil. Hal apa yang membuat peristiwa itu bisa terjadi. (Lihat tulisan lain dalam buku ini, "Kriminalitas Sebagai Kebudayaan").

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, bukan maksud tulisan ini  mengajak para wanita untuk lebih agresif dan berani melakukan kejahatan, seperti sejauh ini agak didominasi oleh kaum laki-laki. Tulisan ini hanya sekadar mempersoalkan mengapa kriminalitas disertai kekerasan, lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.

Apakah mungkin suatu ketika kelak, jika ketimpangan gender bukan persoalan, seperti obsesi para feminis, secara langsung akan berarti pula bahwa kriminalitas akan semakin merajalela. Dalam arti diandaikan pula karena situasi dan kondisi sosial budaya yang kondusif, wanita merasa memiliki hak, peluang, dan keberanian yang sama untuk melakukan tindak kejahatan, dalam berbagai sifat dan bentuknya.

* * *
Seperti telah disinggung, ada istilah kejahatan disertai kekerasan. Dari istilah tersebut dapat dipahami bahwa ada dua konsep penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, ada kejahatan semata-mata sebagai satu kejahatan. Bisa jadi ia berupa penipuan, pencurian, pemerasan, pemfitnahan, dsb. Dan tidak terlalu mengherankan jika pelakunya baik wanita ataupun laki-laki.

Kedua, bentuk kejahatan itu mengalami pergeseran dimensi ketika disertai kekerasan sehingga ia tidak lagi bernama penipuan atau pencurian, tetapi pada sisi lain ia telah bernama perampokan, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Mu­ngkin sama-sama mengambil uang dalam prosedur yang tidak benar. Jika pencurian dengan cara yang "lunak", maka perampokan dengan cara yang "keras" (Bdk. Mulyana W. Kusumah, 1990; Romli Atmasasmita, 1992).

Implikasi dari cara "keras" pada dasarnya adanya campur tangan fisik. Dalam pengertian terjadinya bentuk dominasi/ pemaksaan/penguasaan fisik atas satu pihak terhadap pihak lain baik apakah pihak korban secara nyata dirugikan ataupun tidak. Secara sederhana, singkat kata kita biasa memberikan gambaran bahwa kriminalitas dengan kekerasan adalah adanya unsur penganiayaan dan atau perusakan fisik teru­tama terhadap objek/korban kejahatan. 

Dari keterangan ini ada satu hal yang membedakan dimensi kejahatan tanpa kekerasan dengan yang sebaliknya. Yakni terjadinya intervensi fisik. Saya tidak tahu pasti apakah dalam perspektif ini akan menjadi lebih jelas berbagai keterbatasan wanita berkaitan dengan aktivitas kriminalitasnya. Artinya, secara kebudayaan wanita ditidakberdayakan kemampuan "fisik"nya, sehingga secara langsung berpen­garuh bagi kriminalitas yang faktor kekerasan fisik merupakan unsur penting (Lihat Arief Budiman, 1985; Toril Moi, 1987).

* * *
Salah satu persoalan dalam perbincangan gender adalah ketika kaum wanita dalam sejarah-budayanya yang panjang mengalami domestikasi. Kemudian disadari atau tidak ruang lingkup aktivitas dan perkembangan fisiknya mengalami keterbata­san tertentu sehingga kadang-kadang ia agak identik dengan segala urusan yang berbau rumah.

Tidak dipermasalahkan lebih jauh mengapa hal tersebut sampai terjadi. Karena yang ingin dipersoalkan justru implikasi apa saja yang terkait dengannya. Misalnya, mengapa kaum laki-laki seolah menjadi sangat dominan apakah itu berkaitan dengan peluang-peluang bagi peraihan material, maupun yang berkaitan dengan akselerasi bagi penguasaannya terhadap ruang dan waktu (publik).

Proses tersebut secara terus menerus menjadi sesuatu yang diterima apa adanya tidak saja dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum wanita itu sendiri. Itulah se­babnya, pada sisi lain sebetulnya dapat pula dijelaskan ketika banyak orang yang mengatakan bahwa nilai-nilai maskulin akhirnya justru menjadi tolok ukur pertama dan utama diberbagai kehidupan masyarakat. Pendek kata terjadinya maskulinisasi.

Pada tataran ini, sebetulnya wanita memiliki "kultur" yang sama dengan pria untuk juga melakukan kejahatan, misalnya. Persoalannya, apakah proses maskulini­sasi yang selama ini sering didengungkan gagal membawa dirinya bagi kesetaraan posisi dan status laki-laki dan wanita dalam berbagai aktivitasnya, sehingga tiba saatnya kita tidak lagi heran, kaget, dan penasaran jika ada kejahatan pemerkosaan, pembunuhan, dan perampokan dilakukan oleh wanita.

Mungkin inilah yang memberikan kecurigaan kepada saya bahwa ada jenis- jenis aktivitas tertentu bukan sekedar persoalan "kultur". Katakanlah bahwa jangan- jangan berbagai aktivitas tersebut seperti mengenal "jenis kelamin" (nature) pula. Ada batas-batas tertentu bagi berbagai jenis aktivitas yang tidak dapat ditembus bagi proses maskulinisasi. Ada kesan batas-batas yang sifatnya "kodrati". Padahal mu­ngkin saja dalam proses sejarah yang panjang, kadang-kadang sesuatu yang kultural menjadi sesuatu yang "natural".

Dalam dunia olahraga, sebagai contoh. Walaupun wanita tampak terlibat di dalamnya, di barat sekalipun, tetapi tetap saja tidak ada olahraga yang secara resmi mencampurkan laki-laki dan wanita dalam ruang dan waktu yang sama untuk satu jenis kemenangan. 

Apakah hal tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa bagaimanapun juga pada dasarnya olahraga pada dasarnya "berjenis kelamin laki-laki", sehingga maskulinisasi yang terjadi pada wanita tetap mengalami keterbatasan yang tak dapat diatasi untuk disetarakan begitu saja dengan kaum laki-laki.

Sebagai konsekuensi lebih jauh, bagaimana pula halnya dengan tindakan kriminalitas disertai kekerasan. Apakah menyiratkan hal yang sama?

* * *
Sejauh ini, saya sendiri berharap apa yang diuraikan di atas tidak terlalu salah. Dalam arti, walau mungkin berlebihan, saya berharap bahwa kriminalitas memang bukan persoalan kultur semata. Diakui tentu saja ada dialektika saling berpengaruh di dalamnya. Misalnya, bagaimana nilai-nilai dan norma sosial budaya setempat (karena dominasi nilai-nilai maskulin) tetap menempatkan wanita sebagai nature yang berbeda dengan laki-laki serta implikasi lain yang terkait dengannya.

Sebagai resikonya, ada sisi-sisi tertentu dari perjuangan pemberdayaan dan kesetaraan wanita-laki-laki tidak mengambil resiko untuk terlibat dan berpartisipasi lebih jauh bagi proses menuju perebakan kriminal. Justru yang perlu dipikirkan bagaimana mengambil peluang, mengingat populasi wanita yang begitu besar, mengantisipasi kejahatan dengan kekerasan yang sejauh ini didominasi oleh laki-laki.

Artinya, jika harapan tersebut sedikit banyak mengandung kebenaran, maka paling tidak tetap membatasi kemungkinan bahwa wanita memiliki hak dan peluang yang sama untuk berpartisipasi bagi aktivitas kriminalitas. Karena jika yang satu ini juga tidak diperjuangkan untuk dipertahankan, dapat dibayangkan jika pada akhirnya wanita terkondisi untuk juga melakukan tindakan kriminalitas disertai kekerasan.

Harapan tersebut tentu saja bukan berarti ingin mengatakan bahwa pada da­sarnya laki-laki tetap saja memiliki hak dan peluang melakukan tindakan kejahatan. Sebagai manusia yang "normal-normal saja", bagaimanapun tentu saja saya tetap menolak kejahatan, apapun bentuknya, dari manapun datangnnya. Apakah itu dila­kukan oleh laki-laki, atau wanita. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar