Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian besar
masyarakat kita masih kaget, heran, dan penasaran jika dalam suatu tindakan
kriminal, terutama disertai kekerasan, ternyata pelakunya wanita (atau sebutlah
perempuan). Berbagai bentuk dan jenis media massa juga sering secara khusus mengambil
sudut pandang "faktor kewanitaan" jika kebetulan terlibat dalam suatu
aksi kejahatan.
Apakah rasa heran dan penasaran, serta sudut pandang
"faktor kewanitaan", secara langsung memperlihatkan dimensi
ketimpangan gender. Apalagi ketika disadari atau tidak kriminalitas/kejahatan
seperti diandaikan sebagai perbuatan yang lazimnya dilakukan laki-laki.
Lebih jauh, jika diandaikan tidak terjadi persoalan
ketimpangan gender, apakah wanita lantas memiliki keberanian yang sama untuk
melakukan tindak kejahatan sehingga tindak kejahatan kekerasan bukan lagi semata-mata
urusan laki-laki. Dengannya, jika ia melakukan kejahatan kekerasan tidak lagi
sesuatu yang mengherankan.
Jika memang bukan demikian, persoalan lain apa yang membuat
wanita memiliki keterbatasan tertentu untuk melakukan kejahatan. Apakah
kejahatan berdasarkan kodratnya (nature) membutuhkan faktor-faktor tertentu
yang diandaikan hanya terpenuhi oleh nature laki-laki. Atau mungkinkah
kejahatan bukan persoalan nature, tetapi lebih sebagai persoalan culture. Hal
ini memang membutuhkan penejlsan tersendiri, khususnya jika kita percaya pada
cerita Kabil yang membunuh Habil. Hal apa yang membuat peristiwa itu bisa
terjadi. (Lihat tulisan lain dalam buku ini, "Kriminalitas Sebagai
Kebudayaan").
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, bukan maksud tulisan ini mengajak para wanita untuk lebih agresif dan
berani melakukan kejahatan, seperti sejauh ini agak didominasi oleh kaum
laki-laki. Tulisan ini hanya sekadar mempersoalkan mengapa kriminalitas
disertai kekerasan, lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.
Apakah mungkin suatu ketika kelak, jika ketimpangan gender
bukan persoalan, seperti obsesi para feminis, secara langsung akan berarti pula
bahwa kriminalitas akan semakin merajalela. Dalam arti diandaikan pula karena
situasi dan kondisi sosial budaya yang kondusif, wanita merasa memiliki hak,
peluang, dan keberanian yang sama untuk melakukan tindak kejahatan, dalam
berbagai sifat dan bentuknya.
* * *
Seperti telah disinggung, ada istilah kejahatan disertai
kekerasan. Dari istilah tersebut dapat dipahami bahwa ada dua konsep penting
yang perlu digarisbawahi. Pertama, ada kejahatan semata-mata sebagai satu
kejahatan. Bisa jadi ia berupa penipuan, pencurian, pemerasan, pemfitnahan,
dsb. Dan tidak terlalu mengherankan jika pelakunya baik wanita ataupun laki-laki.
Kedua, bentuk kejahatan itu mengalami pergeseran dimensi
ketika disertai kekerasan sehingga ia tidak lagi bernama penipuan atau
pencurian, tetapi pada sisi lain ia telah bernama perampokan, pemerkosaan, atau
bahkan pembunuhan. Mungkin sama-sama mengambil uang dalam prosedur yang tidak
benar. Jika pencurian dengan cara yang "lunak", maka perampokan
dengan cara yang "keras" (Bdk. Mulyana W. Kusumah, 1990; Romli
Atmasasmita, 1992).
Implikasi dari cara "keras" pada dasarnya adanya
campur tangan fisik. Dalam pengertian terjadinya bentuk dominasi/
pemaksaan/penguasaan fisik atas satu pihak terhadap pihak lain baik apakah
pihak korban secara nyata dirugikan ataupun tidak. Secara sederhana, singkat
kata kita biasa memberikan gambaran bahwa kriminalitas dengan kekerasan adalah
adanya unsur penganiayaan dan atau perusakan fisik terutama terhadap
objek/korban kejahatan.
Dari keterangan ini ada satu hal yang membedakan dimensi
kejahatan tanpa kekerasan dengan yang sebaliknya. Yakni terjadinya intervensi
fisik. Saya tidak tahu pasti apakah dalam perspektif ini akan menjadi lebih
jelas berbagai keterbatasan wanita berkaitan dengan aktivitas kriminalitasnya.
Artinya, secara kebudayaan wanita ditidakberdayakan kemampuan
"fisik"nya, sehingga secara langsung berpengaruh bagi kriminalitas
yang faktor kekerasan fisik merupakan unsur penting (Lihat Arief Budiman, 1985;
Toril Moi, 1987).
* * *
Salah satu persoalan dalam perbincangan gender adalah ketika
kaum wanita dalam sejarah-budayanya yang panjang mengalami domestikasi.
Kemudian disadari atau tidak ruang lingkup aktivitas dan perkembangan fisiknya
mengalami keterbatasan tertentu sehingga kadang-kadang ia agak identik dengan
segala urusan yang berbau rumah.
Tidak dipermasalahkan lebih jauh mengapa hal tersebut sampai
terjadi. Karena yang ingin dipersoalkan justru implikasi apa saja yang terkait
dengannya. Misalnya, mengapa kaum laki-laki seolah menjadi sangat dominan
apakah itu berkaitan dengan peluang-peluang bagi peraihan material, maupun yang
berkaitan dengan akselerasi bagi penguasaannya terhadap ruang dan waktu
(publik).
Proses tersebut secara terus menerus menjadi sesuatu yang
diterima apa adanya tidak saja dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum
wanita itu sendiri. Itulah sebabnya, pada sisi lain sebetulnya dapat pula
dijelaskan ketika banyak orang yang mengatakan bahwa nilai-nilai maskulin
akhirnya justru menjadi tolok ukur pertama dan utama diberbagai kehidupan
masyarakat. Pendek kata terjadinya maskulinisasi.
Pada tataran ini, sebetulnya wanita memiliki
"kultur" yang sama dengan pria untuk juga melakukan kejahatan,
misalnya. Persoalannya, apakah proses maskulinisasi yang selama ini sering
didengungkan gagal membawa dirinya bagi kesetaraan posisi dan status laki-laki
dan wanita dalam berbagai aktivitasnya, sehingga tiba saatnya kita tidak lagi
heran, kaget, dan penasaran jika ada kejahatan pemerkosaan, pembunuhan, dan
perampokan dilakukan oleh wanita.
Mungkin inilah yang memberikan kecurigaan kepada saya bahwa
ada jenis- jenis aktivitas tertentu bukan sekedar persoalan "kultur".
Katakanlah bahwa jangan- jangan berbagai aktivitas tersebut seperti mengenal
"jenis kelamin" (nature) pula. Ada
batas-batas tertentu bagi berbagai jenis aktivitas yang tidak dapat ditembus
bagi proses maskulinisasi. Ada
kesan batas-batas yang sifatnya "kodrati". Padahal mungkin saja
dalam proses sejarah yang panjang, kadang-kadang sesuatu yang kultural menjadi
sesuatu yang "natural".
Dalam dunia olahraga, sebagai contoh. Walaupun wanita tampak
terlibat di dalamnya, di barat sekalipun, tetapi tetap saja tidak ada olahraga
yang secara resmi mencampurkan laki-laki dan wanita dalam ruang dan waktu yang
sama untuk satu jenis kemenangan.
Apakah hal tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa
bagaimanapun juga pada dasarnya olahraga pada dasarnya "berjenis kelamin
laki-laki", sehingga maskulinisasi yang terjadi pada wanita tetap
mengalami keterbatasan yang tak dapat diatasi untuk disetarakan begitu saja
dengan kaum laki-laki.
Sebagai konsekuensi lebih jauh, bagaimana pula halnya dengan
tindakan kriminalitas disertai kekerasan. Apakah menyiratkan hal yang sama?
* * *
Sejauh ini, saya sendiri berharap apa yang diuraikan di atas
tidak terlalu salah. Dalam arti, walau mungkin berlebihan, saya berharap bahwa
kriminalitas memang bukan persoalan kultur semata. Diakui tentu saja ada
dialektika saling berpengaruh di dalamnya. Misalnya, bagaimana nilai-nilai dan
norma sosial budaya setempat (karena dominasi nilai-nilai maskulin) tetap
menempatkan wanita sebagai nature yang berbeda dengan laki-laki serta implikasi
lain yang terkait dengannya.
Sebagai resikonya, ada sisi-sisi tertentu dari perjuangan
pemberdayaan dan kesetaraan wanita-laki-laki tidak mengambil resiko untuk
terlibat dan berpartisipasi lebih jauh bagi proses menuju perebakan kriminal.
Justru yang perlu dipikirkan bagaimana mengambil peluang, mengingat populasi
wanita yang begitu besar, mengantisipasi kejahatan dengan kekerasan yang sejauh
ini didominasi oleh laki-laki.
Artinya, jika harapan tersebut sedikit banyak mengandung
kebenaran, maka paling tidak tetap membatasi kemungkinan bahwa wanita memiliki
hak dan peluang yang sama untuk berpartisipasi bagi aktivitas kriminalitas.
Karena jika yang satu ini juga tidak diperjuangkan untuk dipertahankan, dapat
dibayangkan jika pada akhirnya wanita terkondisi untuk juga melakukan tindakan
kriminalitas disertai kekerasan.
Harapan tersebut tentu saja bukan berarti ingin mengatakan
bahwa pada dasarnya laki-laki tetap saja memiliki hak dan peluang melakukan
tindakan kejahatan. Sebagai manusia yang "normal-normal saja",
bagaimanapun tentu saja saya tetap menolak kejahatan, apapun bentuknya, dari
manapun datangnnya. Apakah itu dilakukan oleh laki-laki, atau wanita. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar