Minggu, 29 April 2012

PEKEWUH SEBAGAI KEJAHATAN


 Alkisah, suatu hari, selesai menghadap Bapak Presiden RI Soeharto (Kompas, 11/7/1995) seorang menterinya yakni Menpan TB. Silalahi di hadapan para warta­wan mengatakan, "Siapapun ia, apakah ia anak pejabat atau bukan anak pejabat, jika melakukan kolusi dan korupsi akan ditindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku". Pernyataan itu sebagai usaha penyegaran masih berlakunya PP. No. 30/1980 tentang dilarangnya pegawai negeri atau keluarganya melakukan bisnis jika memanfaatkan fasilitas negara. PP itu kemudian dimodifikasi dengan menegaskan bahwa bukan pegawai negeri saja yang dilarang melakukan bisnis, tetapi juga anak pejabat. (PP itu pada masa "reformasi" (1999) kembali mengalami modifikasi sesuai dengan tuntutan dan semangat reformatif. Tetapi bagaimana praktiknya dalam kehi­dupan sehari-hari, itu urusan tersendiri yang berbeda). 

Persoalan anak pejabat muncul setelah anggota DPR kita yang terhormat mempermasalahkan bahwa trend bisnis anak pejabat semakin merajalela. Pihak DPR juga mempermasalah kemungkinan anak pejabat memanfaatkan kekuasaan orang tuanya sehingga memungkinkan terjadinya kolusi di satu pihak dan korupsi pada sisinya yang lain. Pada kejadian serupa adalah terjadinya nepotisme yakni semacam "kerja sama bisnis" yang hanya menjaring pihak keluarga pejabat yang sedang berkuasa.

Pihak DPR juga memperhitungkan dengan teliti bahwa pemberlakuan dengan konsekuen PP itu jangan sampai mengusik hak-hak azasi masyarakat (warga negara) yang sesungguhnya dilindungi undang-undang untuk dengan bebas melakukan kegia­tan usaha apa saja. Akan tetapi, paling tidak PP tersebut diharapkan dapat mengur­angi segala bentuk kolusi, nepotisme, serta kemungkinan terjadinya korupsi lebih besar lagi. Selain itu dimaksudkan juga agar segala urusan bisnis dilakuan dengan fair, berdasarkan jalur yang benar, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Persoalannya adalah apakah dengan peninjauan dan pengingatan ulang PP. No. 30/1980 itu memiliki kekuatan menghilangkan kolusi/nepotisme apalagi korupsi. Analisis persoalan ini berkaitan dengan sampai sejauh mana kekuatan perundangan/peraturan pemerintah (perintah struktural) berhadapan dengan "sistem budaya" yang terlanjur berakar di negeri kita ini.

Salah satu sistem budaya yang dimaksud adalah bahwa kita mengenal budaya pekewuh. Pada awalnya, konsep pekewuh dimaksudkan sebagai rasa sungkan kepada orang yang lebih tua, pimpinan, atau atasan. Sayang, pada akhirnya konsep tersebut mengalami transformasi pemaknaan/penggunaan. Tegasnya konsep tersebut menga­lami pragmatisasi. Ia tidak hanya dimaksudkan sebagai rasa sungkan, tetapi pada akhirnya berarti rasa takut.

Dengan demikian, dengan adanya PP tersebut paling tidak ada dua kemungki­nan "ketakutan" yang bisa dikondisikan. Pertama, ketakutan (dalam arti sesungguhn­ya) terhadap pelanggaran PP itu sendiri. Kedua, ketakutan (dalam konotasi budaya) yakni perasaan "sungkan" jika tidak mampu/mau berpartisipasi untuk pemudahan- pemudahan urusan bisnis sang anak pejabat.

Dari hal tersebut, terlihat pula dua dampak yang dapat diperkirakan. Jika ketakutan pertama yang muncul, maka seseorang yang terlibat di dalamnya mengha­dapi resiko untuk tidak disenangi pihak pejabat yang membawahinya. Itu artinya, ia menghadapi resiko untuk tersingkir dalam permainan/jaringan budaya kolusi.

Toh, kemungkinan lain, pelanggaran untuk hal pertama, --itu artinya ia memenangkan kondisi kedua (takut pada hal kedua)--, belum tentu ia akan "dipros­es" secara langsung dan terbuka untuk kesalahan itu. Mengapa? Ada kemungkinan karena ia telah "berpartisipasi" pada budaya kolusi itu, ia mendapat perlindungan tertentu dari atasannya atau pejabat yang terkait dan berwenang.

Dengan demikian, apakah budaya pekewuh itu perlu dihilangkan. Tentu saja tidak. Kita harus tetap memiliki rasa sungkan dan hormat kepada orang tua, pimpi­nan, atau atasan. Yang perlu dibumihanguskan adalah pragmatisasi budaya tersebut sehingga menyebabkannya melahirkan ketakutan-ketakutan.

Di sini persoalannya menjadi agak rumit. Dalam arti bagaimana mungkin salah satu watak manusia yang universal itu bisa dihilangkan begitu saja. Artinya, siapa bilang kita tidak boleh takut. Itu merupakan sesuatu yang wajar. Takut terhadap ancaman bahaya, takut dijambret penjahat, bahkan mungkin takut jika masuk neraka. Akan tetapi, bukan ketakutan seperti itu yang dimaksudkan untuk diatasi. Ketakutan yang saya maksudkan adalah ketakutan "manusia modern". Yakni sema­cam paradoks bahwa "manusia modern" sekarang takut melakukan sesuatu yang justru dianggap benar berdasarkan hukum rasional yang berlaku. Hal tersebut terjadi karena berkaitan langsung dengan pola budaya yang berlangsung sehari-hari. 

Tentu saja contoh aktual yang berkaitan dengan itu masih bertebaran di tengah kita. Misalnya saja, seseorang menjadi "sungkan" dan takut jika tidak ikut-ikutan memasukkan ayam (semacam ungkapan Melayu yang artinya korupsi atau mencuri uang) ke kantongnya, --walaupun kecil-kecilan--, takut disangka sok suci. Contoh lain, jika kelihatan rajin juga tidak berani, takut dikira mengambil muka atasan, dst. Kita memang masyarakat yang aneh, penuh prasangka, sering terbalik-terbalik, paradoksal.

Sekali lagi, dalam kondisi seperti itu, masih relevan dan memiliki kekuatankah halnya seperti UU atau PP atau Kepres, dll, untuk mengatasi kolusi, korupsi, manipulasi, nepotisme?

Karenanya menjadi beralasan jika rasa takut dalam pengertian budaya lebih dominan dan lebih sukar diatasi. Ia tidak hanya berkorelasi dengan adanya kemung­kinan keberanian rasional untuk menghadapi kekuatan PP yang sedikit banyak lahir dari budaya rasional pula. Maksudnya, pada tingkat tertentu jika jenis pelanggaran lebih dalam kondisi pertama seperti disebut di atas, maka persoalan pengatasannya juga lebih mudah diatasi oleh argumentasi-argumentasi rasional.

Apakah dengan demikian justru budaya rasional seperti itu tidak perlu dikem­bangkan. Tentu saja perlu, dalam pengertian jika itu dimaksudkan untuk memberikan tandingan tertentu terhadap budaya "rasa" yang barangkali tidak lagi relevan dengan kebutuhan pembangunan menyeluruh terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Apalagi mengingat salah satu ciri modernisasi adalah perlunya rasionalisasi agar sesuai dengan tuntutan peradaban.

Mungkin, untuk mengatasi pekerjaan besar tersebut tidak hanya dengan pembuatan atau pengingatan kembali bahwa kita memiliki peraturan tertentu tentang etika bisnis, misalnya. Akan tetapi, lebih dari itu adalah mencoba merumuskan kembali difinisi kita tentang budaya, berbudaya, dan kebudayaan, secara keseluru­han. Itulah pula sebabnya, pernyataan Umar Kayam bahwa kita perlu memformula­sikan/meredifinisikan kembali konsep kita tentang kebudayaan menjadi penting Umar Kayam, Prisma, 1987).

Dalam hal ini, reformulasi itu tentu saja berkaitan pada penekanan dimensi rasionalisasinya. Yakni semacam "pembelaan" atas pentingnya dimensi rasional atas dimensi rasa dalam rumusan kebudayaan yang dimaksud. Di samping itu, sekaligus usaha pemahaman lebih jauh bahwa kebudayaan bukan sesuatu yang sangat identik dengan "berkesenian" yang secara umum mementingkan dunia rasa. Kebudayaan adalah bagaimana kita memaksimalkan penggunaan akal kita menghadapi kehidupan ini.

Darinya diharapkan bahwa jika kita dihadapkan pada dua kondisi di atas, maka yang muncul adalah ketakutan jenis pertama. Dengan demikian, kalau toh kita dianggap salah karena melanggar peraturan, dan kalau toh kita memiliki sejumlah argumentasi pembelaan rasional, maka soal salah benar kita serahkan pada proses hukum. Paling tidak kita lebih siap jika dikatakan salah secara hukum (rasional).

Dan, perlu diketahui bahwa merubah konsep manusia Indonesia tentang bu­daya, berbudaya, dan kebudayaan itu membutuhkan lama waktu. Ia sudah harus mulai ditanamkan  sejak balita, dipelajari dan dipahami ketika menginjak bangku SD, dan seterusnya. Dipraktikkan dengan cara-cara yang disiplin agar prilaku lambat laun berubah. Romo Kuntara W., dalam sebuah diskusi budaya di LIP (2000) pernah bilang bahwa hanya untuk menertibkan budaya antri/menunggu bis di halte bis, mungkin kita butuh waktu 50 tahun lagi. Melihat itu paling tidak kita membutuhkan waktu tiga atau empat generasi, atau bahkan lebih.

Lama waktu yang dibutuhkan itu tidak lantas membuat kecil hati kita. Karena perubahan evolutif itu memang membutuhkan masa. Tapi paling tidak kita masih bisa berharap akan suatu perubahan ke arah yang lebih baik, daripada tidak sama sekali. Karena, tampaknya, keringsekan wajah kebudayaan kita yang selama ini diatasi dengan upaya-upaya struktural tidak mampu mengatasi pola-pola budaya yang terlanjur tertanam. Ia mungkin hanya bisa diatasi dengan kekuatan pada (konsep) kebudayaannya yang sangat opersional pula. Yang dipraktikkan sehari-hari secara ketat, tentu dengan resiko-resiko tertentu pula. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar