Alkisah, suatu hari, selesai menghadap Bapak Presiden RI
Soeharto (Kompas, 11/7/1995) seorang menterinya yakni Menpan TB. Silalahi di
hadapan para wartawan mengatakan, "Siapapun ia, apakah ia anak pejabat
atau bukan anak pejabat, jika melakukan kolusi dan korupsi akan ditindak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku". Pernyataan itu sebagai usaha
penyegaran masih berlakunya PP. No. 30/1980 tentang dilarangnya pegawai negeri
atau keluarganya melakukan bisnis jika memanfaatkan fasilitas negara. PP itu
kemudian dimodifikasi dengan menegaskan bahwa bukan pegawai negeri saja yang
dilarang melakukan bisnis, tetapi juga anak pejabat. (PP itu pada masa
"reformasi" (1999) kembali mengalami modifikasi sesuai dengan
tuntutan dan semangat reformatif. Tetapi bagaimana praktiknya dalam kehidupan
sehari-hari, itu urusan tersendiri yang berbeda).
Persoalan anak pejabat muncul setelah anggota DPR kita yang
terhormat mempermasalahkan bahwa trend bisnis anak pejabat semakin merajalela.
Pihak DPR juga mempermasalah kemungkinan anak pejabat memanfaatkan kekuasaan
orang tuanya sehingga memungkinkan terjadinya kolusi di satu pihak dan korupsi
pada sisinya yang lain. Pada kejadian serupa adalah terjadinya nepotisme yakni
semacam "kerja sama bisnis" yang hanya menjaring pihak keluarga
pejabat yang sedang berkuasa.
Pihak DPR juga memperhitungkan dengan teliti bahwa
pemberlakuan dengan konsekuen PP itu jangan sampai mengusik hak-hak azasi
masyarakat (warga negara) yang sesungguhnya dilindungi undang-undang untuk
dengan bebas melakukan kegiatan usaha apa saja. Akan tetapi, paling tidak PP
tersebut diharapkan dapat mengurangi segala bentuk kolusi, nepotisme, serta
kemungkinan terjadinya korupsi lebih besar lagi. Selain itu dimaksudkan juga
agar segala urusan bisnis dilakuan dengan fair, berdasarkan jalur yang benar,
dan bisa dipertanggungjawabkan.
Persoalannya adalah apakah dengan peninjauan dan pengingatan
ulang PP. No. 30/1980 itu memiliki kekuatan menghilangkan kolusi/nepotisme
apalagi korupsi. Analisis persoalan ini berkaitan dengan sampai sejauh mana
kekuatan perundangan/peraturan pemerintah (perintah struktural) berhadapan
dengan "sistem budaya" yang terlanjur berakar di negeri kita ini.
Salah satu sistem budaya yang dimaksud adalah bahwa kita
mengenal budaya pekewuh. Pada awalnya, konsep pekewuh dimaksudkan sebagai rasa
sungkan kepada orang yang lebih tua, pimpinan, atau atasan. Sayang, pada
akhirnya konsep tersebut mengalami transformasi pemaknaan/penggunaan. Tegasnya
konsep tersebut mengalami pragmatisasi. Ia tidak hanya dimaksudkan sebagai
rasa sungkan, tetapi pada akhirnya berarti rasa takut.
Dengan demikian, dengan adanya PP tersebut paling tidak ada
dua kemungkinan "ketakutan" yang bisa dikondisikan. Pertama,
ketakutan (dalam arti sesungguhnya) terhadap pelanggaran PP itu sendiri.
Kedua, ketakutan (dalam konotasi budaya) yakni perasaan "sungkan"
jika tidak mampu/mau berpartisipasi untuk pemudahan- pemudahan urusan bisnis
sang anak pejabat.
Dari hal tersebut, terlihat pula dua dampak yang dapat
diperkirakan. Jika ketakutan pertama yang muncul, maka seseorang yang terlibat
di dalamnya menghadapi resiko untuk tidak disenangi pihak pejabat yang
membawahinya. Itu artinya, ia menghadapi resiko untuk tersingkir dalam
permainan/jaringan budaya kolusi.
Toh, kemungkinan lain, pelanggaran untuk hal pertama, --itu
artinya ia memenangkan kondisi kedua (takut pada hal kedua)--, belum tentu ia
akan "diproses" secara langsung dan terbuka untuk kesalahan itu.
Mengapa? Ada
kemungkinan karena ia telah "berpartisipasi" pada budaya kolusi itu,
ia mendapat perlindungan tertentu dari atasannya atau pejabat yang terkait dan
berwenang.
Dengan demikian, apakah budaya pekewuh itu perlu
dihilangkan. Tentu saja tidak. Kita harus tetap memiliki rasa sungkan dan
hormat kepada orang tua, pimpinan, atau atasan. Yang perlu dibumihanguskan adalah
pragmatisasi budaya tersebut sehingga menyebabkannya melahirkan
ketakutan-ketakutan.
Di sini persoalannya menjadi agak rumit. Dalam arti
bagaimana mungkin salah satu watak manusia yang universal itu bisa dihilangkan
begitu saja. Artinya, siapa bilang kita tidak boleh takut. Itu merupakan
sesuatu yang wajar. Takut terhadap ancaman bahaya, takut dijambret penjahat,
bahkan mungkin takut jika masuk neraka. Akan tetapi, bukan ketakutan seperti
itu yang dimaksudkan untuk diatasi. Ketakutan yang saya maksudkan adalah
ketakutan "manusia modern". Yakni semacam paradoks bahwa
"manusia modern" sekarang takut melakukan sesuatu yang justru
dianggap benar berdasarkan hukum rasional yang berlaku. Hal tersebut terjadi
karena berkaitan langsung dengan pola budaya yang berlangsung sehari-hari.
Tentu saja contoh aktual yang berkaitan dengan itu masih
bertebaran di tengah kita. Misalnya saja, seseorang menjadi "sungkan"
dan takut jika tidak ikut-ikutan memasukkan ayam (semacam ungkapan Melayu yang
artinya korupsi atau mencuri uang) ke kantongnya, --walaupun kecil-kecilan--,
takut disangka sok suci. Contoh lain, jika kelihatan rajin juga tidak berani,
takut dikira mengambil muka atasan, dst. Kita memang masyarakat yang aneh,
penuh prasangka, sering terbalik-terbalik, paradoksal.
Sekali lagi, dalam kondisi seperti itu, masih relevan dan
memiliki kekuatankah halnya seperti UU atau PP atau Kepres, dll, untuk
mengatasi kolusi, korupsi, manipulasi, nepotisme?
Karenanya menjadi beralasan jika rasa takut dalam pengertian
budaya lebih dominan dan lebih sukar diatasi. Ia tidak hanya berkorelasi dengan
adanya kemungkinan keberanian rasional untuk menghadapi kekuatan PP yang
sedikit banyak lahir dari budaya rasional pula. Maksudnya, pada tingkat
tertentu jika jenis pelanggaran lebih dalam kondisi pertama seperti disebut di
atas, maka persoalan pengatasannya juga lebih mudah diatasi oleh
argumentasi-argumentasi rasional.
Apakah dengan demikian justru budaya rasional seperti itu
tidak perlu dikembangkan. Tentu saja perlu, dalam pengertian jika itu
dimaksudkan untuk memberikan tandingan tertentu terhadap budaya
"rasa" yang barangkali tidak lagi relevan dengan kebutuhan
pembangunan menyeluruh terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Apalagi mengingat
salah satu ciri modernisasi adalah perlunya rasionalisasi agar sesuai dengan
tuntutan peradaban.
Mungkin, untuk mengatasi pekerjaan besar tersebut tidak
hanya dengan pembuatan atau pengingatan kembali bahwa kita memiliki peraturan
tertentu tentang etika bisnis, misalnya. Akan tetapi, lebih dari itu adalah
mencoba merumuskan kembali difinisi kita tentang budaya, berbudaya, dan
kebudayaan, secara keseluruhan. Itulah pula sebabnya, pernyataan Umar Kayam
bahwa kita perlu memformulasikan/meredifinisikan kembali konsep kita tentang
kebudayaan menjadi penting Umar Kayam, Prisma, 1987).
Dalam hal ini, reformulasi itu tentu saja berkaitan pada
penekanan dimensi rasionalisasinya. Yakni semacam "pembelaan" atas
pentingnya dimensi rasional atas dimensi rasa dalam rumusan kebudayaan yang
dimaksud. Di samping itu, sekaligus usaha pemahaman lebih jauh bahwa kebudayaan
bukan sesuatu yang sangat identik dengan "berkesenian" yang secara
umum mementingkan dunia rasa. Kebudayaan adalah bagaimana kita memaksimalkan
penggunaan akal kita menghadapi kehidupan ini.
Darinya diharapkan bahwa jika kita dihadapkan pada dua
kondisi di atas, maka yang muncul adalah ketakutan jenis pertama. Dengan
demikian, kalau toh kita dianggap salah karena melanggar peraturan, dan kalau
toh kita memiliki sejumlah argumentasi pembelaan rasional, maka soal salah
benar kita serahkan pada proses hukum. Paling tidak kita lebih siap jika
dikatakan salah secara hukum (rasional).
Dan, perlu diketahui bahwa merubah konsep manusia Indonesia
tentang budaya, berbudaya, dan kebudayaan itu membutuhkan lama waktu. Ia sudah
harus mulai ditanamkan sejak balita,
dipelajari dan dipahami ketika menginjak bangku SD, dan seterusnya.
Dipraktikkan dengan cara-cara yang disiplin agar prilaku lambat laun berubah.
Romo Kuntara W., dalam sebuah diskusi budaya di LIP (2000) pernah bilang bahwa
hanya untuk menertibkan budaya antri/menunggu bis di halte bis, mungkin kita
butuh waktu 50 tahun lagi. Melihat itu paling tidak kita membutuhkan waktu tiga
atau empat generasi, atau bahkan lebih.
Lama waktu yang dibutuhkan itu tidak lantas membuat kecil
hati kita. Karena perubahan evolutif itu memang membutuhkan masa. Tapi paling
tidak kita masih bisa berharap akan suatu perubahan ke arah yang lebih baik,
daripada tidak sama sekali. Karena, tampaknya, keringsekan wajah kebudayaan
kita yang selama ini diatasi dengan upaya-upaya struktural tidak mampu
mengatasi pola-pola budaya yang terlanjur tertanam. Ia mungkin hanya bisa
diatasi dengan kekuatan pada (konsep) kebudayaannya yang sangat opersional
pula. Yang dipraktikkan sehari-hari secara ketat, tentu dengan resiko-resiko
tertentu pula. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar