Minggu, 29 April 2012

KRIMINALISASI DAN KRIMINALISME


Di antara berbagai jenis dan bentuk kriminalitas, apa yang paling ditakuti? Mungkin betul apa yang disinyalir Stephan Hurwitz (1986), bahwa yang paling ditakutkan  adalah ketika kriminalitas dijadikan semacam profesi dan/atau mata pencarian. Dalam konteks tersebut, pada tataran tertentu kriminalitas tidak lagi sebagai suatu aktivitas atau tindakan terpaksa dan tidak dapat dihindari, tetapi justru dengan kesadaran penuh merupakan cara dan pilihan pertama dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan.

Tesis di atas memang tidak terlalu baru. Apa lagi kecenderungan tersebut telah terjadi di negara-negara seperti beberapa negara di Eropa, Amerika, bahkan tidak terkecuali Cina dan Jepang.  Misalnya tampak dari lembaga-lembaga (organisasi) kejahatan internasionalnya, atau biasa disebut Mafia di Eropa atau Amerika, Triad di Cina, atau Yakuza di Jepang, sebagai contoh yang paling dikenal.

Persoalannya, bagaimana halnya di Indonesia. Apakah mungkin dalam ma­syarakat Indonesia akan atau bahkan telah tumbuh dan melembaga kejahatan- kejahatan yang terorganisir dan termanajemen secara profesional yang diorientasikan sebagai mata pencarian. Hal ini sekaligus berkaitan dengan sinyalemen para pakar dan pemerhati masalah kejahatan, bahwa ada kemungkinan organisasi kejahatan internasional telah merambah Indonesia. Istilah terorganisir dan termanajemen seara porfesional mungkin perlu dijelaskan bahwa dalam arti bisa jadi sudah banyak kelompok-kelompok kejahatan yang terorganisir di Indonesia, tetapi mungkin tidak profesional. Sebaliknya, mungkin profesional dalam pengertian tertentu, tetapi tidak terorganisir dengan baik. Dengan begitu, saya sedikit membedakan keperluan pen­gorganisasian dan manajemen.

Di sini tidak dipersoalkan kemungkinan jaringan kriminalitas internasional yang disinyalir telah merembet ke Indonesia, tetapi lebih difokuskan pada peluang apa saja yang memungkinkan kejahatan semakin mengkooptasi masyarakat Indone­sia. Dalam hal ini saya sebut sebagai kriminalisasi, semacam proses yang membuat orang menjadi jahat. Kemudian implikasi dari kriminalisasi itu, dalam hal ini disebut sebagai kriminalisme.

* * *
Dalam wacana kriminologi, kriminalisasi biasa diartikan sebagai proses untuk menentukan sebuah aktivitas atau prilaku disebut jahat (Stephan Hurwitz, 1986). Dalam kesempatan ini saya ingin melebarkan pengertian tersebut tidak semata-mata berhenti pada upaya identifikasi. Alih-alih lebih-lebih sebagai suatu proses yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan aktivitas kriminal dengan kesadaran penuh dan merupakan pilihan yang tidak dapat dihindari.

Sebagai ilustrasi, walaupun masih perlu diperdebatkan, disinyalir banyak di antara para penjahat justru dari mereka yang secara sosial dan ekonomis merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Dari sinyalemen tersebut paling tidak akan diketahui dua hal. Pertama, sebagian besar kasus kejahatan, secara umum sangat berkaitan dengan persoalan ekonomis. Terlepas apakah itu merupakan alasan utama atau tidak, banyak kejahatan sangat mungkin bermotifkan ekonomis (E.H. Suther­land dan D.R. Cressey, 1960). Katakanlah prinsip bagaimana bekerja sedikit mu­ngkin dengan keuntungan/kepuasan sebesar mungkin.

Kedua, pada umumnya pelaku kejahatan adalah dari mereka yang secara umum rasa memiliki kehormatan atau harga diri sangat rendah. Sebagai konsekuensinya, mereka yang merasa tidak terlalu terbebani rasa malu jika suatu ketika diketahui atau tertangkap sebagai penjahat, lebih berpeluang besar untuk melakukan kejahatan. (Sinyalemen ini tentu sangat tidak lengkap, hanya diambil beberapa poin penting sesuai dengan kebutuhan tulisan ini).

Berangkat dari persoalan itu, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperha­tikan berkaitan dengan struktur psiko-sosiologis masyarakat Indonesia. Yakni apakah mungkin persoalan ekonomis yang dihadapi mayoritas masyarakat Indonesia akan menjadi preseden utama bagi begitu banyak aktivitas kriminal yang selalu kita dengar dan baca di berbagai media massa. Maupun yang kita saksikan sendiri, baik yang tersembunyi ataupun tidak.

Secara garis besar, memang ada dua kemungkinan mengapa orang melakukan kejahatan. Pertama, pada sisi tertentu manusia memiliki watak jahat. Cuma karena proses dan perkembangannya, baik secara pribadi atau sosial, ada yang mampu meredam atau bahkan meniadakan watak tersebut. Minimal lingkungannya tidak memberi peluang untuk mengembangkan watak tersebut, atau dalam perspektif Freud (1986) direpresi oleh kebudayaannya. Akan tetapi, kedua, ada pula ketika struktur maupun birokrasi-sosial sangat memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas tertentu di luar prosedur resmi, yang melanggar konsen­sus, berdasarkan nilai-nilai etik tertentu pula. (Lihat juga penjelasan Romli Atma­sasmita, 1992; atau Bdk. Stephan Hurwitz, 1986).

Sebagai analogi adalah polemik tentang kemiskinan. Ada yang memakai para­digma struktural sehingga disebut sebagai kemiskinan struktural, dan sebaliknya kita mengenal istilah kemiskinan mental. Tidak jauh berbeda, perihal tersebut terjadi pula pada budaya kriminalitas. Artinya, walau kedua paradigma tersebut saling berdialek­tika, sesungguhnya main stream apa yang dirasakan dominan sehubungan dengan berbagai bentuk kejahatan.

* * *
Apakah ilustrasi dan uraian di atas masih memperlihatkan akurasi yang tak terbantahkan. Barangkali tidak. Apalagi jika menilik perkembangan jenis dan bentuk kejahatan yang tidak lagi semata-mata bermotifkan ekonomis. Lebih dari itu adalah adanya kecenderungan politis yang menjadi "skenario" bagi praktik dan kepentingan tertentu yang lebih besar yang bahkan tak tersentuh dan tak terbaca ujung pangkaln­ya oleh mata masyarakat.
Saya tidak bermaksud terlalu berprasangka bahwa pada tataran tertentu sistem kekuasaan kita terlalu memberi hati bagi praktik-praktik tertentu sebagai upaya bagi stabilitas dan status quo kekuasaannya. Cuma prasangka itu bisa saja menjadi kenya­taan jika pemerintah, yang nota bene sebagai pihak penguasa, tidak memiliki cara yang taktis dan strategis dalam memecahkan problem ketika masyarakat semakin sadar dan tahu di mana letak persoalan sesungguhnya.

Pada sisi lain, pada dasarnya kejahatan dimungkinkan terjadi karena didukung oleh suatu keadaan yang kondusif sehingga seseorang atau sekelompok orang merasa serba kekurangan, tidak pernah merasa puas, dan selalu berusaha merealisasikan realitas yang ditolaknya itu agar sesuai dengan harapan dan impiannya. Tidak jarang cara atau tindakan untuk mendapatkan harapan atau impiannya itu dengan segala cara. Seperti kita mengenal konsep tujuan menghalalkan cara. Logika yang memen­tingkan hasil ini tentu sangat berbahaya karena masyarakat akan melakukan kekera­san-kekerasan dan pemaksaan dalam proses "pekerjaan"-annya agar sesuai dengan apa yang ditargetkan. Masyarakat tidak mampu melihat bahwa apapun yang sehar­usnya dihasilkan selayaknya melalui prosedur logis yang dapat dipertanggungjawab­kan sesuai tuntutan proses alami dari berbagai aktibitas kehidupannya.

Tampaknya, sejauh ini justru tindakan-tindakan tujuan menghalalkan cara dan kiat meraih keuntungan sebesarnya tersebutlah yang perlu diperhitungkan bagi; apakah itu aktivitas yang menyimpang secara terbuka dan terselubung, halus atau kasar, direstui atau tidak, yang sangat dirasakan sehari-hari, dan berdampak bagi kehidupan sosial yang sehat, sejahtera, aman, dan sentosa.

Terkait dengan itu, sebetulnya kriminalitas muncul lebih karena suatu proses psiko-sosial yang mengkonstruksi subjektivitas seseorang atau sekelompok orang berkaitan dengan realitas sosial yang sehari-hari dihadapinya secara terus-menerus. Terlepas dari realitas sosial objektif, ada realitas lain yang juga menjadi pelajaran penting bagi pembentukan persepsi yang pada gilirannya akan menentukan bentuk tindakan dan kebijakan seperti apa yang akan diambil seseorang atau sekelompok orang berkaitan dengan problem hidup kesehariannya. (Untuk persoalan persepsi lebih jauh lihat McDavid dan Harari, 1968).

Realitas itu misalnya, fenomena ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekua­saan yang menindas, kekuatan ekonomi yang serba menentukan, hukum yang tidak jelas, perlindungan terhadap rasa aman yang tidak terjamin, dan sebagainya. Kese­muanya itu, pada akhirnya seolah berubah menjadi realitas yang demikianlah adan­ya. Dia dijadikan legitimasi kebenaran. Yang tidak begitu justru ketinggalan, tidak relevan, dan salah. Secara disadari atau tidak, realitas seperti itu memproses manu­sianya terkungkung dalam suatu proses pemiskinan nilai-nilai kemanusiaan yang ideal seperti dicita-citakan oleh semua agama dan etika moral.

Akibatnya, kita menjadi begitu gelisah jika cita-cita terhadap rasa aman, sento­sa, sejahtera, perasaan merdeka, kehidupan dengan etik dan kesusilaan yang tinggi, justru mendapat tantangan yang serius dan terus menerus ketika kita harus dihadakan pada keniscayaan kriminalitas. Tidak mustahil pada gilirannya yang terjadi adalah apa yang disebut kriminalisme. Yakni suatu kondisi sosial budaya yang memproses seseorang/sekelompok orang melakukan kejahatan bukan demi sesuatu yang lain, tetapi demi kejahatan itu sendiri. Pelaku kejahatan merasa puas jika masyarakat yang menjadi sasaran kejahatannya merasa takut, terteror, dan merasa tidak aman. Mungkin itu sedang kita alami. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar