Di antara berbagai jenis dan bentuk kriminalitas, apa yang
paling ditakuti? Mungkin betul apa yang disinyalir Stephan Hurwitz (1986),
bahwa yang paling ditakutkan adalah
ketika kriminalitas dijadikan semacam profesi dan/atau mata pencarian. Dalam
konteks tersebut, pada tataran tertentu kriminalitas tidak lagi sebagai suatu
aktivitas atau tindakan terpaksa dan tidak dapat dihindari, tetapi justru
dengan kesadaran penuh merupakan cara dan pilihan pertama dalam mengatasi
berbagai persoalan kehidupan.
Tesis di atas memang tidak terlalu baru. Apa lagi
kecenderungan tersebut telah terjadi di negara-negara seperti beberapa negara
di Eropa, Amerika, bahkan tidak terkecuali Cina dan Jepang. Misalnya tampak dari lembaga-lembaga
(organisasi) kejahatan internasionalnya, atau biasa disebut Mafia di Eropa atau
Amerika, Triad di Cina, atau Yakuza di Jepang, sebagai contoh yang paling
dikenal.
Persoalannya, bagaimana halnya di Indonesia. Apakah mungkin dalam masyarakat
Indonesia
akan atau bahkan telah tumbuh dan melembaga kejahatan- kejahatan yang
terorganisir dan termanajemen secara profesional yang diorientasikan sebagai
mata pencarian. Hal ini sekaligus berkaitan dengan sinyalemen para pakar dan
pemerhati masalah kejahatan, bahwa ada kemungkinan organisasi kejahatan
internasional telah merambah Indonesia.
Istilah terorganisir dan termanajemen seara porfesional mungkin perlu
dijelaskan bahwa dalam arti bisa jadi sudah banyak kelompok-kelompok kejahatan
yang terorganisir di Indonesia,
tetapi mungkin tidak profesional. Sebaliknya, mungkin profesional dalam
pengertian tertentu, tetapi tidak terorganisir dengan baik. Dengan begitu, saya
sedikit membedakan keperluan pengorganisasian dan manajemen.
Di sini tidak dipersoalkan kemungkinan jaringan kriminalitas
internasional yang disinyalir telah merembet ke Indonesia,
tetapi lebih difokuskan pada peluang apa saja yang memungkinkan kejahatan
semakin mengkooptasi masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini saya sebut sebagai kriminalisasi, semacam proses yang membuat
orang menjadi jahat. Kemudian implikasi dari kriminalisasi itu, dalam hal ini
disebut sebagai kriminalisme.
* * *
Dalam wacana kriminologi, kriminalisasi biasa diartikan
sebagai proses untuk menentukan sebuah aktivitas atau prilaku disebut jahat
(Stephan Hurwitz, 1986). Dalam kesempatan ini saya ingin melebarkan pengertian
tersebut tidak semata-mata berhenti pada upaya identifikasi. Alih-alih
lebih-lebih sebagai suatu proses yang menyebabkan seseorang atau sekelompok
orang melakukan aktivitas kriminal dengan kesadaran penuh dan merupakan pilihan
yang tidak dapat dihindari.
Sebagai ilustrasi, walaupun masih perlu diperdebatkan,
disinyalir banyak di antara para penjahat justru dari mereka yang secara sosial
dan ekonomis merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Dari sinyalemen
tersebut paling tidak akan diketahui dua hal. Pertama, sebagian besar kasus
kejahatan, secara umum sangat berkaitan dengan persoalan ekonomis. Terlepas
apakah itu merupakan alasan utama atau tidak, banyak kejahatan sangat mungkin
bermotifkan ekonomis (E.H. Sutherland dan D.R. Cressey, 1960). Katakanlah
prinsip bagaimana bekerja sedikit mungkin dengan keuntungan/kepuasan sebesar
mungkin.
Kedua, pada umumnya pelaku kejahatan adalah dari mereka yang
secara umum rasa memiliki kehormatan atau harga diri sangat rendah. Sebagai
konsekuensinya, mereka yang merasa tidak terlalu terbebani rasa malu jika suatu
ketika diketahui atau tertangkap sebagai penjahat, lebih berpeluang besar untuk
melakukan kejahatan. (Sinyalemen ini tentu sangat tidak lengkap, hanya diambil
beberapa poin penting sesuai dengan kebutuhan tulisan ini).
Berangkat dari persoalan itu, paling tidak ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan berkaitan dengan struktur psiko-sosiologis masyarakat Indonesia.
Yakni apakah mungkin persoalan ekonomis yang dihadapi mayoritas masyarakat Indonesia akan menjadi preseden utama bagi
begitu banyak aktivitas kriminal yang selalu kita dengar dan baca di berbagai
media massa.
Maupun yang kita saksikan sendiri, baik yang tersembunyi ataupun tidak.
Secara garis besar, memang ada dua kemungkinan mengapa orang
melakukan kejahatan. Pertama, pada sisi tertentu manusia memiliki watak jahat.
Cuma karena proses dan perkembangannya, baik secara pribadi atau sosial, ada
yang mampu meredam atau bahkan meniadakan watak tersebut. Minimal lingkungannya
tidak memberi peluang untuk mengembangkan watak tersebut, atau dalam perspektif
Freud (1986) direpresi oleh kebudayaannya. Akan tetapi, kedua, ada pula ketika
struktur maupun birokrasi-sosial sangat memberi kesempatan kepada masyarakat
untuk melakukan aktivitas tertentu di luar prosedur resmi, yang melanggar
konsensus, berdasarkan nilai-nilai etik tertentu pula. (Lihat juga penjelasan
Romli Atmasasmita, 1992; atau Bdk. Stephan Hurwitz, 1986).
Sebagai analogi adalah polemik tentang kemiskinan. Ada yang memakai paradigma
struktural sehingga disebut sebagai kemiskinan struktural, dan sebaliknya kita
mengenal istilah kemiskinan mental. Tidak jauh berbeda, perihal tersebut
terjadi pula pada budaya kriminalitas. Artinya, walau kedua paradigma tersebut
saling berdialektika, sesungguhnya main stream apa yang dirasakan dominan
sehubungan dengan berbagai bentuk kejahatan.
* * *
Apakah ilustrasi dan uraian di atas masih memperlihatkan
akurasi yang tak terbantahkan. Barangkali tidak. Apalagi jika menilik
perkembangan jenis dan bentuk kejahatan yang tidak lagi semata-mata bermotifkan
ekonomis. Lebih dari itu adalah adanya kecenderungan politis yang menjadi
"skenario" bagi praktik dan kepentingan tertentu yang lebih besar
yang bahkan tak tersentuh dan tak terbaca ujung pangkalnya oleh mata
masyarakat.
Saya tidak bermaksud terlalu berprasangka bahwa pada tataran
tertentu sistem kekuasaan kita terlalu memberi hati bagi praktik-praktik
tertentu sebagai upaya bagi stabilitas dan status quo kekuasaannya. Cuma
prasangka itu bisa saja menjadi kenyataan jika pemerintah, yang nota bene
sebagai pihak penguasa, tidak memiliki cara yang taktis dan strategis dalam
memecahkan problem ketika masyarakat semakin sadar dan tahu di mana letak
persoalan sesungguhnya.
Pada sisi lain, pada dasarnya kejahatan dimungkinkan terjadi
karena didukung oleh suatu keadaan yang kondusif sehingga seseorang atau
sekelompok orang merasa serba kekurangan, tidak pernah merasa puas, dan selalu
berusaha merealisasikan realitas yang ditolaknya itu agar sesuai dengan harapan
dan impiannya. Tidak jarang cara atau tindakan untuk mendapatkan harapan atau
impiannya itu dengan segala cara. Seperti kita mengenal konsep tujuan
menghalalkan cara. Logika yang mementingkan hasil ini tentu sangat berbahaya
karena masyarakat akan melakukan kekerasan-kekerasan dan pemaksaan dalam
proses "pekerjaan"-annya agar sesuai dengan apa yang ditargetkan.
Masyarakat tidak mampu melihat bahwa apapun yang seharusnya dihasilkan
selayaknya melalui prosedur logis yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai
tuntutan proses alami dari berbagai aktibitas kehidupannya.
Tampaknya, sejauh ini justru tindakan-tindakan tujuan
menghalalkan cara dan kiat meraih keuntungan sebesarnya tersebutlah yang perlu
diperhitungkan bagi; apakah itu aktivitas yang menyimpang secara terbuka dan
terselubung, halus atau kasar, direstui atau tidak, yang sangat dirasakan
sehari-hari, dan berdampak bagi kehidupan sosial yang sehat, sejahtera, aman,
dan sentosa.
Terkait dengan itu, sebetulnya kriminalitas muncul lebih
karena suatu proses psiko-sosial yang mengkonstruksi subjektivitas seseorang
atau sekelompok orang berkaitan dengan realitas sosial yang sehari-hari
dihadapinya secara terus-menerus. Terlepas dari realitas sosial objektif, ada
realitas lain yang juga menjadi pelajaran penting bagi pembentukan persepsi
yang pada gilirannya akan menentukan bentuk tindakan dan kebijakan seperti apa
yang akan diambil seseorang atau sekelompok orang berkaitan dengan problem
hidup kesehariannya. (Untuk persoalan persepsi lebih jauh lihat McDavid dan
Harari, 1968).
Realitas itu misalnya, fenomena ketidakadilan,
kesewenang-wenangan, kekuasaan yang menindas, kekuatan ekonomi yang serba menentukan,
hukum yang tidak jelas, perlindungan terhadap rasa aman yang tidak terjamin,
dan sebagainya. Kesemuanya itu, pada akhirnya seolah berubah menjadi realitas
yang demikianlah adanya. Dia dijadikan legitimasi kebenaran. Yang tidak begitu
justru ketinggalan, tidak relevan, dan salah. Secara disadari atau tidak,
realitas seperti itu memproses manusianya terkungkung dalam suatu proses
pemiskinan nilai-nilai kemanusiaan yang ideal seperti dicita-citakan oleh semua
agama dan etika moral.
Akibatnya, kita menjadi begitu gelisah jika cita-cita
terhadap rasa aman, sentosa, sejahtera, perasaan merdeka, kehidupan dengan
etik dan kesusilaan yang tinggi, justru mendapat tantangan yang serius dan
terus menerus ketika kita harus dihadakan pada keniscayaan kriminalitas. Tidak
mustahil pada gilirannya yang terjadi adalah apa yang disebut kriminalisme.
Yakni suatu kondisi sosial budaya yang memproses seseorang/sekelompok orang
melakukan kejahatan bukan demi sesuatu yang lain, tetapi demi kejahatan itu
sendiri. Pelaku kejahatan merasa puas jika masyarakat yang menjadi sasaran
kejahatannya merasa takut, terteror, dan merasa tidak aman. Mungkin itu sedang
kita alami. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar