Minggu, 29 April 2012

KRIMINALITAS SEBAGAI KEBUDAYAAN


Berbagai berita dan cerita tentang kerusuhan dan keberingasan massa, akhir- akhir ini telah menjadi wacana yang dominan dalam masyarakat kita. Sebagai satu bentuk aktivitas, dalam perspektif tertentu aktivitas tersebut dianggap sebagai krimi­nalitas massa.

Ekspos dan perhatian terhadap kejahatan massa tentu saja lebih besar dibanding dengan kejahatan individual. Di samping melibatkan manusia lebih banyak, pada umumnya kejahatan massa juga lebih terpantau dibanding kejahatan yang bersifat individual.

Bahkan dalam sebuah teori disebutkan bahwa sesungguhnya teori-teori yang dikembangkan tentang kriminalitas tidak begitu canggih. Hal tersebut terjadi karena teori yang dikembangkan berdasarkan data kejahatan yang terdeteksi atau diketahui. Padahal alangkah banyaknya bentuk dan jenis kejahatan yang tidak atau belum dike­tahui.

Berbagai analisis juga telah dilontarkan oleh para ahli sesuai dengan bidang kecenderungan dan perspektifnya masing-masing. Dalam tulisan ini, saya akan coba menguraikan bahwa terjadinya kejahatan itu tidak semata-mata sebagai kejahatan yang berifat insidental dan terpaksa, tetapi lebih dari itu adalah ketika kejahatan lebih sebagai kebudayaan.

* * *
Cukup banyak rumusan teoritik yang berkaitan dengan definisi kebudayaan. Secara disederhanakan dimaksudkan sebagai cara manusia/masyarakat dalam memahami, menghayati, mengekspresikan diri dan dunianya yang termanifestasikan dalam berbagai prilaku lahiriah maupun simbolis, sekaligus sebagai upaya mengatasi dan menyiasati berbagai permasalahan dalam hidupnya.

Perlu ditegaskan bahwa kebudayaan lebih sebagai proses akumulatif berkelan­jutan, walaupun pada dasarnya berkebudayaan merupakan proses belajar. Namun, itu tidak berarti kebudayaan yang telah terbentuk, ketika dipelajari dan dipraktikkan oleh generasi berikutnya harus kembali dari awal. Konsep tersebut sekaligus mengisyaratkan letak perbedaan kebudayaan di satu sisi dan peradaban di sisi lain, sisi-sisi mata uang. Sebagai ilustrasi, kebiasaan berpakaian, yang pada awalnya untuk mengatasi tantangan alam, pada akhirnya menjadi kebudayaan. Penemuan hingga model-model berpakaian telah didahului oleh suatu proses yang panjang. Karena telah menjadi kebudayaan, sebegitu jauh kita tidak merasa perlu mengulang bagaimana cara awal menemukan baju atau celana.

Namun, bagaimana baju dan celana tersebut diolah dan disajikan, di sinilah letak peradaban. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi bagaimana pakaian terse­but diolah dan ditampilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah "temuan teknologi", --teknologisasi--, yang pada dasarnya juga merupakan hasil dari proses kebudayaan. Tahap-tahap temuan teknologis itu merupakan peradaban. Dari tahap berpakaian ala kadarnya hingga bermacam-macam model dan estetika sedemi­kian rupa.

* * *
Persoalan awal, apakah keriminalitas merupakan kebudayaan? Dalam cerita lama kita mengenal bagaimana kejahatan pertama kali dilakukan manusia yakni ketika Kabil membunuh adiknya Habil. Terlepas dari berbagai sebab mengapa Kabil membunuh adiknya, yang jelas sebelumnya dia tidak pernah belajar bagaimana dan mengapa harus membunuh. Kabil tidak tahu bahwa akibat perbuatannya itu adiknya mati dan dinamakan pembunuhan.

Bahkan, mungkin pada waktu itu secara relatif perbuatan tersebut tidak lang­sung diketegorikan sebagai kejahatan. Karena konteks kejahatan secara langsung berkaitan dengan kemungkinan konsensus hukum yang berlaku dan diberlakukan, serta akibat yang ditimbulkannya kepada masyarakat dan lingkungannya. 

Yang jelas, suka atau tidak, ternyata di dalam diri manusia memiliki potensi "negatif", dalam arti berpotensi melakukan sesuatu yang kemudian dinamakan keja­hatan, jika ditinjau dari berbagai seginya. Ketika cara itu bisa dilakukan lagi, dalam prosesnya yang panjang ia menjadi cara manusia untuk "mengatasi" atau "menganti­sipasi" atau bahkan "menyelesaikan" problem hidupnya. Ia menjadi semacam kebu­dayaan. Karena kebudayaan berjalan dan berubah semakin kompleks, peradaban menjadi lebih canggih, tak urung, cara orang melakukan kejahatan dituntut semakin lihai. Yang berubah adalah bukan kualitas kriminalitas, tapi cara orang melakukan kejahatan serta respon masyarakat dalam memahami perangai kejahatan.

Katakanlah, dulu orang membunuh hanya memakai senjata tajam. Waktu itu, masyarakat meresponnya dengan agak terkejut. Ketika ditemukan senjata api, cara pembunuhan lebih mudah.  Masyarakat bertambah kompleks dan masalah yang ditimbulkan semakin rumit, kejahatan secara kuantitatif meningkat terus. Resikonya, apalagi didukung oleh pemberitaan media massa yang dapat dibaca dan didengar kapan pun dan di mana pun, masyarakat semakin terbiasa dengan berbagai kejadian kejahatan.

Dalam hal ini respon masyarakat terkondisi dalam dua cara. Secara sosial masyarakat semakin tak acuh dengan berbagai kejadian yang terjadi dalam masyara­katnya, tetapi secara individual ia menuntut pengamanan maksimal bagi dirinya atas berbagai kejahatan. Itulah sebabnya, masyarakat mungkin semakin tak peduli dengan kejahatan pencurian, pemerkosaan, dsb., tetapi ia tidak pernah mentolelir jika keja­dian itu menimpa dirinya.

Konsekuensinya, bersamaan dengan kemudahan yang dimungkinan oleh tek­nologi yang dapat dipakai untuk melakukan kejahatan, teknologi pengamanan juga dipercanggih sedemikian rupa. Pecanggihan sistem pengamanan bukan saja pada teknologi dan sistemnya, tetapi dapat pula terjadi pada kemampuan masyarakat secara individual dan kolektif untuk mengantisipasinya.

Kondisi itu berbemerang ketika para kriminal dengan tidak berputus asa mempercanggih teknik (peralataan), cara, dan metode tindak kejahatan. Sebab dan alasan melakukan kejahatan juga semakin beragam. Hal tersebut terbukti hingga hari ini kriminalitas terus meningkat.

* * *
Sebegitu jauh, problem di atas mengandung sesuatu yang ironis. Ketika ma­syarakat semakin terbiasa hidup dalam suasana kejahatan, pada tataran tertentu ia tidak lagi dapat membedakan mana perbuatan yang dianggap jahat dan mana yang tidak. Tegas kata, bisa jadi masyarakat terjebak dan hidup dalam cara dan sistem kejahatan itu sendiri.

Penjelasannya demikian. Diakui bahwa akibat iptek, dalam banyak hal peruba­han sosial budaya memperlihatkan sisi peradaban yang menggembirakan. Teknologi kesehatan, pertanian, transportasi, listrik, peralatan rumah tangga, komputerisasi mekanisme kerja, komputerisasi birokrasi, dsb., bertambah baik. 

Akan tetapi, fenomena itu tidak mengurangi kenyataan bahwa sejumlah besar masyarakat Indonesia secara relatif hidup dalam konteks yang "pas-pasan". Yang jelas, jangankan kemampuan untuk mengatasi problem masyarakatnya, problem kejahatan misalnya, peluang untuk mengatasi problemnya sendiri sudah demikian sulit.

Akibatnya, masyarakat terutama untuk mengatasi problem kebutuhan ekono­misnya, hidup dalam berbagai cara tambal sulam serabutan, untuk tidak mengatakan terpaksa atau tidak menempuh jalur-jalur "ilegal". Padahal kita tahu jalur ilegal itu bagaimana pun merupakan kejahatan.

Bentuk kejadiannya bukan saja seperti korupsi, manipulasi, penindasan struk­tural dan mental, berbagai strategi ("tipu muslihat") bisnis, monopolisasi, tetapi lebih jauh adalah pula seperti perkelahian massal, kerusuhan nasional, kehidupan sosial politik yang tidak demokratis, apatisme sosial, dan sebagainya.

Berbagai prilaku illegal tersebut tidak hanya dimungkinkan oleh sistem dan birokrasi sosial yang longgar, tidak efisien dan efektif, tetapi lebih jauh justru mendapatkan legitimasinya dari mekanisme birokrasi "tahu sama tahu".

Tindak kejahatan akhirnya melingkar, menjerumuskan, memperangkap, se­hingga siapa pun ia, sadar atau tidak mengalami kesulitan untuk ke luar dari jaringan kejahatan itu. Tidak mustahil bagi yang mencoba ke luar dari permainan, justru dianggap aneh, sok suci, dll., dengan resiko terpencil atau dipencilkan.

Mau tidak mau, kita merupakan bagian atau bahkan subjek dari berbagai kejahatan yang menerpa. Tidak berlebihan jika saya percaya, sesungguhnya inilah yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. * * *




PEKEWUH SEBAGAI KEJAHATAN


 Alkisah, suatu hari, selesai menghadap Bapak Presiden RI Soeharto (Kompas, 11/7/1995) seorang menterinya yakni Menpan TB. Silalahi di hadapan para warta­wan mengatakan, "Siapapun ia, apakah ia anak pejabat atau bukan anak pejabat, jika melakukan kolusi dan korupsi akan ditindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku". Pernyataan itu sebagai usaha penyegaran masih berlakunya PP. No. 30/1980 tentang dilarangnya pegawai negeri atau keluarganya melakukan bisnis jika memanfaatkan fasilitas negara. PP itu kemudian dimodifikasi dengan menegaskan bahwa bukan pegawai negeri saja yang dilarang melakukan bisnis, tetapi juga anak pejabat. (PP itu pada masa "reformasi" (1999) kembali mengalami modifikasi sesuai dengan tuntutan dan semangat reformatif. Tetapi bagaimana praktiknya dalam kehi­dupan sehari-hari, itu urusan tersendiri yang berbeda). 

Persoalan anak pejabat muncul setelah anggota DPR kita yang terhormat mempermasalahkan bahwa trend bisnis anak pejabat semakin merajalela. Pihak DPR juga mempermasalah kemungkinan anak pejabat memanfaatkan kekuasaan orang tuanya sehingga memungkinkan terjadinya kolusi di satu pihak dan korupsi pada sisinya yang lain. Pada kejadian serupa adalah terjadinya nepotisme yakni semacam "kerja sama bisnis" yang hanya menjaring pihak keluarga pejabat yang sedang berkuasa.

Pihak DPR juga memperhitungkan dengan teliti bahwa pemberlakuan dengan konsekuen PP itu jangan sampai mengusik hak-hak azasi masyarakat (warga negara) yang sesungguhnya dilindungi undang-undang untuk dengan bebas melakukan kegia­tan usaha apa saja. Akan tetapi, paling tidak PP tersebut diharapkan dapat mengur­angi segala bentuk kolusi, nepotisme, serta kemungkinan terjadinya korupsi lebih besar lagi. Selain itu dimaksudkan juga agar segala urusan bisnis dilakuan dengan fair, berdasarkan jalur yang benar, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Persoalannya adalah apakah dengan peninjauan dan pengingatan ulang PP. No. 30/1980 itu memiliki kekuatan menghilangkan kolusi/nepotisme apalagi korupsi. Analisis persoalan ini berkaitan dengan sampai sejauh mana kekuatan perundangan/peraturan pemerintah (perintah struktural) berhadapan dengan "sistem budaya" yang terlanjur berakar di negeri kita ini.

Salah satu sistem budaya yang dimaksud adalah bahwa kita mengenal budaya pekewuh. Pada awalnya, konsep pekewuh dimaksudkan sebagai rasa sungkan kepada orang yang lebih tua, pimpinan, atau atasan. Sayang, pada akhirnya konsep tersebut mengalami transformasi pemaknaan/penggunaan. Tegasnya konsep tersebut menga­lami pragmatisasi. Ia tidak hanya dimaksudkan sebagai rasa sungkan, tetapi pada akhirnya berarti rasa takut.

Dengan demikian, dengan adanya PP tersebut paling tidak ada dua kemungki­nan "ketakutan" yang bisa dikondisikan. Pertama, ketakutan (dalam arti sesungguhn­ya) terhadap pelanggaran PP itu sendiri. Kedua, ketakutan (dalam konotasi budaya) yakni perasaan "sungkan" jika tidak mampu/mau berpartisipasi untuk pemudahan- pemudahan urusan bisnis sang anak pejabat.

Dari hal tersebut, terlihat pula dua dampak yang dapat diperkirakan. Jika ketakutan pertama yang muncul, maka seseorang yang terlibat di dalamnya mengha­dapi resiko untuk tidak disenangi pihak pejabat yang membawahinya. Itu artinya, ia menghadapi resiko untuk tersingkir dalam permainan/jaringan budaya kolusi.

Toh, kemungkinan lain, pelanggaran untuk hal pertama, --itu artinya ia memenangkan kondisi kedua (takut pada hal kedua)--, belum tentu ia akan "dipros­es" secara langsung dan terbuka untuk kesalahan itu. Mengapa? Ada kemungkinan karena ia telah "berpartisipasi" pada budaya kolusi itu, ia mendapat perlindungan tertentu dari atasannya atau pejabat yang terkait dan berwenang.

Dengan demikian, apakah budaya pekewuh itu perlu dihilangkan. Tentu saja tidak. Kita harus tetap memiliki rasa sungkan dan hormat kepada orang tua, pimpi­nan, atau atasan. Yang perlu dibumihanguskan adalah pragmatisasi budaya tersebut sehingga menyebabkannya melahirkan ketakutan-ketakutan.

Di sini persoalannya menjadi agak rumit. Dalam arti bagaimana mungkin salah satu watak manusia yang universal itu bisa dihilangkan begitu saja. Artinya, siapa bilang kita tidak boleh takut. Itu merupakan sesuatu yang wajar. Takut terhadap ancaman bahaya, takut dijambret penjahat, bahkan mungkin takut jika masuk neraka. Akan tetapi, bukan ketakutan seperti itu yang dimaksudkan untuk diatasi. Ketakutan yang saya maksudkan adalah ketakutan "manusia modern". Yakni sema­cam paradoks bahwa "manusia modern" sekarang takut melakukan sesuatu yang justru dianggap benar berdasarkan hukum rasional yang berlaku. Hal tersebut terjadi karena berkaitan langsung dengan pola budaya yang berlangsung sehari-hari. 

Tentu saja contoh aktual yang berkaitan dengan itu masih bertebaran di tengah kita. Misalnya saja, seseorang menjadi "sungkan" dan takut jika tidak ikut-ikutan memasukkan ayam (semacam ungkapan Melayu yang artinya korupsi atau mencuri uang) ke kantongnya, --walaupun kecil-kecilan--, takut disangka sok suci. Contoh lain, jika kelihatan rajin juga tidak berani, takut dikira mengambil muka atasan, dst. Kita memang masyarakat yang aneh, penuh prasangka, sering terbalik-terbalik, paradoksal.

Sekali lagi, dalam kondisi seperti itu, masih relevan dan memiliki kekuatankah halnya seperti UU atau PP atau Kepres, dll, untuk mengatasi kolusi, korupsi, manipulasi, nepotisme?

Karenanya menjadi beralasan jika rasa takut dalam pengertian budaya lebih dominan dan lebih sukar diatasi. Ia tidak hanya berkorelasi dengan adanya kemung­kinan keberanian rasional untuk menghadapi kekuatan PP yang sedikit banyak lahir dari budaya rasional pula. Maksudnya, pada tingkat tertentu jika jenis pelanggaran lebih dalam kondisi pertama seperti disebut di atas, maka persoalan pengatasannya juga lebih mudah diatasi oleh argumentasi-argumentasi rasional.

Apakah dengan demikian justru budaya rasional seperti itu tidak perlu dikem­bangkan. Tentu saja perlu, dalam pengertian jika itu dimaksudkan untuk memberikan tandingan tertentu terhadap budaya "rasa" yang barangkali tidak lagi relevan dengan kebutuhan pembangunan menyeluruh terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Apalagi mengingat salah satu ciri modernisasi adalah perlunya rasionalisasi agar sesuai dengan tuntutan peradaban.

Mungkin, untuk mengatasi pekerjaan besar tersebut tidak hanya dengan pembuatan atau pengingatan kembali bahwa kita memiliki peraturan tertentu tentang etika bisnis, misalnya. Akan tetapi, lebih dari itu adalah mencoba merumuskan kembali difinisi kita tentang budaya, berbudaya, dan kebudayaan, secara keseluru­han. Itulah pula sebabnya, pernyataan Umar Kayam bahwa kita perlu memformula­sikan/meredifinisikan kembali konsep kita tentang kebudayaan menjadi penting Umar Kayam, Prisma, 1987).

Dalam hal ini, reformulasi itu tentu saja berkaitan pada penekanan dimensi rasionalisasinya. Yakni semacam "pembelaan" atas pentingnya dimensi rasional atas dimensi rasa dalam rumusan kebudayaan yang dimaksud. Di samping itu, sekaligus usaha pemahaman lebih jauh bahwa kebudayaan bukan sesuatu yang sangat identik dengan "berkesenian" yang secara umum mementingkan dunia rasa. Kebudayaan adalah bagaimana kita memaksimalkan penggunaan akal kita menghadapi kehidupan ini.

Darinya diharapkan bahwa jika kita dihadapkan pada dua kondisi di atas, maka yang muncul adalah ketakutan jenis pertama. Dengan demikian, kalau toh kita dianggap salah karena melanggar peraturan, dan kalau toh kita memiliki sejumlah argumentasi pembelaan rasional, maka soal salah benar kita serahkan pada proses hukum. Paling tidak kita lebih siap jika dikatakan salah secara hukum (rasional).

Dan, perlu diketahui bahwa merubah konsep manusia Indonesia tentang bu­daya, berbudaya, dan kebudayaan itu membutuhkan lama waktu. Ia sudah harus mulai ditanamkan  sejak balita, dipelajari dan dipahami ketika menginjak bangku SD, dan seterusnya. Dipraktikkan dengan cara-cara yang disiplin agar prilaku lambat laun berubah. Romo Kuntara W., dalam sebuah diskusi budaya di LIP (2000) pernah bilang bahwa hanya untuk menertibkan budaya antri/menunggu bis di halte bis, mungkin kita butuh waktu 50 tahun lagi. Melihat itu paling tidak kita membutuhkan waktu tiga atau empat generasi, atau bahkan lebih.

Lama waktu yang dibutuhkan itu tidak lantas membuat kecil hati kita. Karena perubahan evolutif itu memang membutuhkan masa. Tapi paling tidak kita masih bisa berharap akan suatu perubahan ke arah yang lebih baik, daripada tidak sama sekali. Karena, tampaknya, keringsekan wajah kebudayaan kita yang selama ini diatasi dengan upaya-upaya struktural tidak mampu mengatasi pola-pola budaya yang terlanjur tertanam. Ia mungkin hanya bisa diatasi dengan kekuatan pada (konsep) kebudayaannya yang sangat opersional pula. Yang dipraktikkan sehari-hari secara ketat, tentu dengan resiko-resiko tertentu pula. * * *

WANITA, KRIMINALITAS, DAN GENDER


 Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat kita masih kaget, heran, dan penasaran jika dalam suatu tindakan kriminal, terutama disertai kekerasan, ternyata pelakunya wanita (atau sebutlah perempuan). Berbagai bentuk dan jenis media massa juga sering secara khusus mengambil sudut pandang "faktor kewanitaan" jika kebetulan terlibat dalam suatu aksi kejahatan.

Apakah rasa heran dan penasaran, serta sudut pandang "faktor kewanitaan", secara langsung memperlihatkan dimensi ketimpangan gender. Apalagi ketika disa­dari atau tidak kriminalitas/kejahatan seperti diandaikan sebagai perbuatan yang lazimnya dilakukan laki-laki.

Lebih jauh, jika diandaikan tidak terjadi persoalan ketimpangan gender, apakah wanita lantas memiliki keberanian yang sama untuk melakukan tindak kejahatan sehingga tindak kejahatan kekerasan bukan lagi semata-mata urusan laki-laki. Dengannya, jika ia melakukan kejahatan kekerasan tidak lagi sesuatu yang mengher­ankan.

Jika memang bukan demikian, persoalan lain apa yang membuat wanita memil­iki keterbatasan tertentu untuk melakukan kejahatan. Apakah kejahatan berdasarkan kodratnya (nature) membutuhkan faktor-faktor tertentu yang diandaikan hanya terpe­nuhi oleh nature laki-laki. Atau mungkinkah kejahatan bukan persoalan nature, tetapi lebih sebagai persoalan culture. Hal ini memang membutuhkan penejlsan tersendiri, khususnya jika kita percaya pada cerita Kabil yang membunuh Habil. Hal apa yang membuat peristiwa itu bisa terjadi. (Lihat tulisan lain dalam buku ini, "Kriminalitas Sebagai Kebudayaan").

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, bukan maksud tulisan ini  mengajak para wanita untuk lebih agresif dan berani melakukan kejahatan, seperti sejauh ini agak didominasi oleh kaum laki-laki. Tulisan ini hanya sekadar mempersoalkan mengapa kriminalitas disertai kekerasan, lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.

Apakah mungkin suatu ketika kelak, jika ketimpangan gender bukan persoalan, seperti obsesi para feminis, secara langsung akan berarti pula bahwa kriminalitas akan semakin merajalela. Dalam arti diandaikan pula karena situasi dan kondisi sosial budaya yang kondusif, wanita merasa memiliki hak, peluang, dan keberanian yang sama untuk melakukan tindak kejahatan, dalam berbagai sifat dan bentuknya.

* * *
Seperti telah disinggung, ada istilah kejahatan disertai kekerasan. Dari istilah tersebut dapat dipahami bahwa ada dua konsep penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, ada kejahatan semata-mata sebagai satu kejahatan. Bisa jadi ia berupa penipuan, pencurian, pemerasan, pemfitnahan, dsb. Dan tidak terlalu mengherankan jika pelakunya baik wanita ataupun laki-laki.

Kedua, bentuk kejahatan itu mengalami pergeseran dimensi ketika disertai kekerasan sehingga ia tidak lagi bernama penipuan atau pencurian, tetapi pada sisi lain ia telah bernama perampokan, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Mu­ngkin sama-sama mengambil uang dalam prosedur yang tidak benar. Jika pencurian dengan cara yang "lunak", maka perampokan dengan cara yang "keras" (Bdk. Mulyana W. Kusumah, 1990; Romli Atmasasmita, 1992).

Implikasi dari cara "keras" pada dasarnya adanya campur tangan fisik. Dalam pengertian terjadinya bentuk dominasi/ pemaksaan/penguasaan fisik atas satu pihak terhadap pihak lain baik apakah pihak korban secara nyata dirugikan ataupun tidak. Secara sederhana, singkat kata kita biasa memberikan gambaran bahwa kriminalitas dengan kekerasan adalah adanya unsur penganiayaan dan atau perusakan fisik teru­tama terhadap objek/korban kejahatan. 

Dari keterangan ini ada satu hal yang membedakan dimensi kejahatan tanpa kekerasan dengan yang sebaliknya. Yakni terjadinya intervensi fisik. Saya tidak tahu pasti apakah dalam perspektif ini akan menjadi lebih jelas berbagai keterbatasan wanita berkaitan dengan aktivitas kriminalitasnya. Artinya, secara kebudayaan wanita ditidakberdayakan kemampuan "fisik"nya, sehingga secara langsung berpen­garuh bagi kriminalitas yang faktor kekerasan fisik merupakan unsur penting (Lihat Arief Budiman, 1985; Toril Moi, 1987).

* * *
Salah satu persoalan dalam perbincangan gender adalah ketika kaum wanita dalam sejarah-budayanya yang panjang mengalami domestikasi. Kemudian disadari atau tidak ruang lingkup aktivitas dan perkembangan fisiknya mengalami keterbata­san tertentu sehingga kadang-kadang ia agak identik dengan segala urusan yang berbau rumah.

Tidak dipermasalahkan lebih jauh mengapa hal tersebut sampai terjadi. Karena yang ingin dipersoalkan justru implikasi apa saja yang terkait dengannya. Misalnya, mengapa kaum laki-laki seolah menjadi sangat dominan apakah itu berkaitan dengan peluang-peluang bagi peraihan material, maupun yang berkaitan dengan akselerasi bagi penguasaannya terhadap ruang dan waktu (publik).

Proses tersebut secara terus menerus menjadi sesuatu yang diterima apa adanya tidak saja dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum wanita itu sendiri. Itulah se­babnya, pada sisi lain sebetulnya dapat pula dijelaskan ketika banyak orang yang mengatakan bahwa nilai-nilai maskulin akhirnya justru menjadi tolok ukur pertama dan utama diberbagai kehidupan masyarakat. Pendek kata terjadinya maskulinisasi.

Pada tataran ini, sebetulnya wanita memiliki "kultur" yang sama dengan pria untuk juga melakukan kejahatan, misalnya. Persoalannya, apakah proses maskulini­sasi yang selama ini sering didengungkan gagal membawa dirinya bagi kesetaraan posisi dan status laki-laki dan wanita dalam berbagai aktivitasnya, sehingga tiba saatnya kita tidak lagi heran, kaget, dan penasaran jika ada kejahatan pemerkosaan, pembunuhan, dan perampokan dilakukan oleh wanita.

Mungkin inilah yang memberikan kecurigaan kepada saya bahwa ada jenis- jenis aktivitas tertentu bukan sekedar persoalan "kultur". Katakanlah bahwa jangan- jangan berbagai aktivitas tersebut seperti mengenal "jenis kelamin" (nature) pula. Ada batas-batas tertentu bagi berbagai jenis aktivitas yang tidak dapat ditembus bagi proses maskulinisasi. Ada kesan batas-batas yang sifatnya "kodrati". Padahal mu­ngkin saja dalam proses sejarah yang panjang, kadang-kadang sesuatu yang kultural menjadi sesuatu yang "natural".

Dalam dunia olahraga, sebagai contoh. Walaupun wanita tampak terlibat di dalamnya, di barat sekalipun, tetapi tetap saja tidak ada olahraga yang secara resmi mencampurkan laki-laki dan wanita dalam ruang dan waktu yang sama untuk satu jenis kemenangan. 

Apakah hal tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa bagaimanapun juga pada dasarnya olahraga pada dasarnya "berjenis kelamin laki-laki", sehingga maskulinisasi yang terjadi pada wanita tetap mengalami keterbatasan yang tak dapat diatasi untuk disetarakan begitu saja dengan kaum laki-laki.

Sebagai konsekuensi lebih jauh, bagaimana pula halnya dengan tindakan kriminalitas disertai kekerasan. Apakah menyiratkan hal yang sama?

* * *
Sejauh ini, saya sendiri berharap apa yang diuraikan di atas tidak terlalu salah. Dalam arti, walau mungkin berlebihan, saya berharap bahwa kriminalitas memang bukan persoalan kultur semata. Diakui tentu saja ada dialektika saling berpengaruh di dalamnya. Misalnya, bagaimana nilai-nilai dan norma sosial budaya setempat (karena dominasi nilai-nilai maskulin) tetap menempatkan wanita sebagai nature yang berbeda dengan laki-laki serta implikasi lain yang terkait dengannya.

Sebagai resikonya, ada sisi-sisi tertentu dari perjuangan pemberdayaan dan kesetaraan wanita-laki-laki tidak mengambil resiko untuk terlibat dan berpartisipasi lebih jauh bagi proses menuju perebakan kriminal. Justru yang perlu dipikirkan bagaimana mengambil peluang, mengingat populasi wanita yang begitu besar, mengantisipasi kejahatan dengan kekerasan yang sejauh ini didominasi oleh laki-laki.

Artinya, jika harapan tersebut sedikit banyak mengandung kebenaran, maka paling tidak tetap membatasi kemungkinan bahwa wanita memiliki hak dan peluang yang sama untuk berpartisipasi bagi aktivitas kriminalitas. Karena jika yang satu ini juga tidak diperjuangkan untuk dipertahankan, dapat dibayangkan jika pada akhirnya wanita terkondisi untuk juga melakukan tindakan kriminalitas disertai kekerasan.

Harapan tersebut tentu saja bukan berarti ingin mengatakan bahwa pada da­sarnya laki-laki tetap saja memiliki hak dan peluang melakukan tindakan kejahatan. Sebagai manusia yang "normal-normal saja", bagaimanapun tentu saja saya tetap menolak kejahatan, apapun bentuknya, dari manapun datangnnya. Apakah itu dila­kukan oleh laki-laki, atau wanita. * * *

KORBAN-KORBAN KRIMINALITAS


Kita selalu diingatkan untuk juga memperhatikan para korban kejahatan yang selama ini agak terabaikan. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa ada kecen­derungan selama ini masyarakat kita agak mengabaikan para korban kriminalitas. Hal tersebut barangkali berdasarkan asumsi bahwa bila sebuah kejahatan telah ditan­gani, dan pelaku kejahatan diproses sesuai dengan hukum, maka persoalan dianggap selesai.

Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu bagi korban kejahatan. Memang, tentu saja penderitaan yang ditanggung korban kriminalitas bergantung jenis kejaha­tan seperti apa yang menimpa dirinya. Walaupun begitu, penyelesaian persoalan kriminalitas tidak semudah menangani dan menghukum pelaku kejahatan. Para korban kejahatan justru menuntut penanganan yang lebih serius, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan yang dialami korban.

Dengan demikian, perlu kiranya mengidentifikasi siapakah kiranya para korban kriminalitas itu, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan yang dialaminya. Secara umum Stephen Schafer (Zvonimir Paul Separovic, 1985) membagi kemungkinan korban ke dalam empat tipe.

Pertama, orang yang sesungguhnya tidak bersalah, tetapi tetap menjadi ko­rban. Untuk kejadian seperti ini, kesalahan tetap pada pihak pelaku. Kedua, korban yang secara sadar atau tidak melakukan aktivitas tertentu sehingga memancing atau mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan, terutama pada dirinya. Karena korban dianggap memberikan andil, maka korban dan pelaku kejahatan sama-sama bersalah, walaupun kadarnya berbeda.

Ketiga, tipe korban yang secara biologis dan sosial memang lemah, sehingga memudahkan orang lain berbuat tidak baik kepada mereka.  Sebagai contoh, orang tua, anak-anak, orang cacat fisik/mental, orang miskin, golongan minoritas, dan sebagainya. Dalam hal ini korban tidak dapat disalahkan. Masyarakat dan pemerin­tahlah yang secara keseluruhan harus bertanggung jawab.

Keempat, korban yang letak kesalahan justru ada pada korbannya sendiri. Biasa juga disebut kejahatan tanpa korban selain dirinya sendiri. Sebagai misal, pelacuran, perjudian, dan sejenisnya. Dalam hal ini yang dianggap bersalah adalah si korban yang sekaligus pelaku kejahatan.

Menarik memperhatikan pembaganan "teoretik" tipe-tipe korban di atas. Apalagi jika dikaitkan dengan bentuk kriminalitas seperti apa yang paling dominan dan signifikan dalam masyarakat kita. Untuk itu, ada baiknya satu persatu dikaji beserta implikasi "teoretik" lain yang relevan dengannya.

Sebagai mana kita ketahui, korban jenis pertama di atas bukan cerita yang asing dalam kehidupan sosial. Banyak orang menanggung kesalahan orang lain baik secara terpaksa atau tidak. Jika itu pilihan yang disadari, mungkin lebih sebagai resiko yang diambil korban. Namun, jika kejadian tersebut karena terpaksa, misaln­ya karena tekanan sosial, politis, dan ekonomis, maka kekuatan dan keobjektifan hukum perlu dipersoalkan.

Demikian pula jika hal itu terjadi karena tipu muslihat, karena hukum (objek­tif) tidak mampu membuktikan secara empirik dan teoretik mana yang bersalah dan mana yang tidak, maka dalam hal ini justru hukum yang secara langsung atau tidak dijadikan legitimasi untuk tindak kejahatan lebih lanjut bagi yang sesungguhnya melakukan kejahatan.

Korban kriminalitas jenis kedua barangkali lebih umum dibanding yang perta­ma. Dalam arti, apapun bentuk kejahatan, apakah itu pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penodongan, dan sebagainya, jika dapat dibayangkan bahwa korban secara sengaja atau tidak ikut memberikan andilnya, maka dalam konteks ini kejaha­tan menemukan sosok aslinya.

Saya kira, korban kajahatan bentuk ketiga yang secara luas perlu diperhitung­kan karena pada sisi tertentu bentuk kriminalitas ini menjadi bagian besar dari bentuk kejahatan pertama dan kedua sekaligus. Maksudnya, bentuk kejahatan seperti ini bukan saja dapat menjadi satu fenomena budaya yang lebih besar, tetapi sekaligus  memakan korban yang lebih besar pula.

Sebagai contoh, korban kejahatan pemerkosaan, baik dalam pengertian umum maupun khusus, bukan semata-mata terjadinya penindasan dan pemaksaan atas satu pihak kepada pihak yang lain. Tetapi lebih karena adanya budaya dominasi dan atau kekuasaan atas satu pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Di samping tentu saja beberapa faktor lain yang juga perlu diperhitungkan, yang berkaitan dengan "naluri dasar" kemanusiaan, jika teori tersebut dapat dibenarkan.

Jika persoalan tersebut dikaitkan pada kejadian yang lebih besar, sama halnya jika ada satu kekuasaan politik yang dominan (negara) yang represif berhadapan dengan rakyat. Sebagai contoh lain perlu juga disebutkan seperti terjadinya koloniali­sasi, imperealisasi, intervensi atas satu bangsa kepada bangsa yang lain.

Sementara itu, korban kejahatan keempat lebih sebagai kesalahan dan kejaha­tan individual. Walaupun kejahatan ini memakan korban dirinya sendiri, tetapi pada tingkat lebih lanjut akan berakibat pada kesalahan dan kejahatan lain. Katakanlah seperti perjudian, minum minuman keras. Tidak jarang kejahatan individual ini akan menyebabkan kejahatan lain yang berdimensi sosial.

* * *
Sebagaimana telah disinggung, ada kriminalitas lain yang lebih besar yang justru perlu diantisipasi sedemikian rupa karena kejahatan tersebut justru mengondi­sikan secara makro bentuk kejahatan lainnya secara berantai. Kejahatan tersebut adalah ketika ada unsur kekuasaan politik-ekonomis, yang kita tahu pada akhirnya serba menentukan itu, ikut campur tangan untuk kepentingan dirinya, yang ditempuh dengan segala cara. Apakah itu berbagai bentuk kekerasan politik, penindasan ekonomis, dan sebagainya.

Karena, pelaku kejahatan tersebut, walau dalam hal ini bisa saja disebut seba­gai "oknum", pihak pelaku kejahatan memiliki kekuatan (baca: kekuasaan) untuk melakukan apa saja, tanpa ada kekuatan lain yang dapat mengimbangi atau mengata­sinya kecuali kekuatan dan itikat dari pelaku kejahatan tersebut. Atau mungkin pada sisi tertentu kontrol dari masyarakat. Walaupun kadang-kadang, karena strukturasi dan sosialisasi politis-ekonomis yang telah berlangsung, dapat pula melemahkan keberadaan dan kekuatan masyarakat sebagai pihak pengontrol. Sehingga pada akhirnya masyarakat tinggal pasrah menjadi korban terus menerus.

Mempelajari berbagai identitas korban dan implikasi yang terkait dengan persoalan tersebut, maka selayaknya diupayakan terjadinya struktur yang berimbang bukan saja dalam pengertian terjadinya demokratisasi, keadilan moral dan material, tetapi sekaligus kepastian hukum yang didukung oleh satu sistem kekuasaan yang demokratis agar calon korban dan korban mendapat perlindungan yang semestinya yang memang merupakan haknya.

Karena, seperti juga kita tahu, berbagai bentuk kejahatan tidak semata-mata karena kejahatan itu sendiri. Akan tetapi, ada motif-motif lain apakah itu berbau ekonomis, politis, atau agama. Seperti katakanlah pula berbagai bentuk kerusuhan massa yang tidak mustahil sebagai korban yang melakukan "kejahatan" karena mereka merupakan korban "kejahatan" yang lebih besar.

Artinya, berbagai kerusuhan dan kebringasan massa yang terjadi akhir-akhir ini misalnya, sebagai bentuk perlawanan, dalam berbagai motifnya. Karena bukan hal mustahil jika sesungguhnya mereka adalah para korban yang sedang melakukan upaya-upaya "revolusioner" untuk memperbaiki keadaan agar kehidupan menjadi lebih baik.

Minimal, jika tujuan itu tidak tercapai, tidak sedikit orang atau masyarakat yang ketika ia melakukan aktivitas tertentu, dan kemudian aktivitas tersebut ternyata dianggap di luar prosedur, atau merugikan, atau mendatangkan korban pada pihak lain, sedikit banyak bertujuan agar realitas berpihak sesuai dengan apa yang bisa mereka bayangkan.

Itulah sebabnya, pada akhirnya, kita tidak dapat menyalahkan begitu saja berbagai pelaku kejahatan dan, lebih-lebih korban kejahatan, yang ditempatkan sebagai sasaran tunggal kesalahan ketika ada satu realitas sosial yang dalam perspek­tif apapun adalah kesalahan, merugikan, dan oleh karenanya sedapat mungkin dihin­dari, diredam, atau bahkan ditindas dengan kekerasan. * * *

KRIMINALITAS TERSELUBUNG


Pada dasarnya aspek kriminalitas itu ada dua, yaitu kriminalitas terbuka dan yang tertutup. Ada semacam anekdot dalam diskursus kriminologi, bahwa sebetulnya teori-teori yang dikembangkan dalam kriminologi itu tidak cukup canggih. Hal tersebut terjadi karena data kejahatan yang dijadikan bahan kajian adalah bentuk kejahatan yang juga tidak begitu canggih (Bdk. Stephan Hurwitz, 1986).

Mengapa dikatakan sebagai kejahatan yang kurang canggih? Karena seandain­ya kejahatan itu canggih, maka kejahatan itu justru terselubung, tidak diketahui, tidak terdeteksi, atau minimal kejahatan yang tidak dilaporkan. Itu artinya, sejauh ini berbagai kejahatan yang dikaji adalah kejahatan yang terpantau, dapat diketahui, yang tertangkap, yang tidak canggih. Yang tidak diketahui tentu saja sulit untuk dikaji, walau mungkin saja masih tetap dapat diperhitungkan. Itupun hanya dengan berbagai perkiraan dan prasangka.

Bagian ini mencoba mempersoalkan sampai sejauh mana sesungguhnya kejaha­tan terselubung itu berdampak serius bagi masyarakat, bahkan bila dibanding kejaha­tan terbuka sekalipun.

* * *
Seperti diketahui, ada beberapa bentuk kejahatan terselubung. Pertama, keja­hatan itu pada umumnya tidak dilaporkan kepada pihak berwenang. Apakah karena jika dilaporkan justru tidak menyelesaikan masalah, urusan menjadi berbelit-belit, atau justru mendatangkan aib yang lebih besar. Sebagai contoh kriminalitas seksual, atau katakanlah korban perkosaan.

Kedua, kejahatan sosial sebagai implikasi dari struktur dan birokrasi sosial budaya itu sendiri. Sebagai contoh, apakah itu korupsi waktu, uang (kuitansi asli tapi palsu, tahu sama tahu), beberapa aspek yang kita kenal sebagai ma lima, yang sejauh ini karena sudah menjadi semacam tradisi, maka bahkan kita sering lupa kalau prila­ku itu sesungguhnya adalah kejahatan. Karenanya sama sekali hampir tanpa kontrol dan selalu mampu menyembunyikan dirinya.

Ketiga, yang hanya dapat diketahui bahwa ada kejahatan di mana saja dan kapan saja, tetapi sulit mempersoalkannya. Seperti halnya kejahatan pertama, seba­gai contoh atasan menindas bawahan, adanya semacam ketidakadilan, atau bahkan kejahatan pada umumnya. Akan tetapi, memang tidak dapat diketahui, yang karena kecanggihannya kejahatan tersebut nyaris selalu tanpa bukti.

Keempat, mungkin ini kejahatan terselubung yang relatif paling berdampak. Yaitu kejahatan yang berbau politik dan kekuasaan. Misalnya digunakannya berbagai bentuk kekerasan untuk tujuan politik. Tetapi anehnya, terpaksa atau tidak kita sering mengatakannya dalam rangka menjaga stabilitas nasional, sehingga perbin­cangan yang berkaitan dengan kekerasan politik selalu mampu memanipulasi dirinya untuk tidak diketahui masyarakat banyak.

Namun demikian, kejahatan tersembunyi sesungguhnya bukan semata-mata karena kecanggihan kejahatan itu sendiri. Paling tidak ada dua sebab mengapa keja­hatan itu selalu luput dari deteksi dan pantauan. Pertama, seperti kejahatan pemerko­saan yang tidak dilaporkan misalnya. Ada suatu nilai budaya tertentu yang membuat pihak korban lebih takut pada aib jika kasus itu diketahui oleh masyarakat luas daripada derita yang harus ditanggungnya secara pribadi.

Letak kelebihan pelaku kejahatan ini diperkirakan mengetahui kemungkinan psikologis itu. Kemudian secara sengaja atau tidak memanfaatkannya, karena dipan­dang lebih aman. Itulah sebabnya, banyak data kejadian perkosaan yang diperkirakan terselubung itu terjadi secara interen dalam keluarga, mereka yang saling kenal, atau keadaan yang kondusif karena pelaku kejahatan memahami seluk beluk korban maupun keadaan/tempat tindakan kejahatan itu dilakukan.

Kedua, berkaitan dengan sistem, struktur, dan birokrasi, sehingga korban kejahatan merasa tidak ada untungnya jika mempersoalkan kejahatan yang menimpa dirinya, bahkan merugi. Artinya, persoalan yang akan diurus dan dihadapi, kadang- kadang tidak sebanding dengan kerugian yang diderita seseorang. Bermaksud mengurus uang yang kecopetan lima puluh ribu rupiah malah bisa hilang sejuta rupiah. Itu artinya, sistem, struktur, dan birokrasi yang dibangun justru berjalan paralel dengan kejahatan terselubung yang selama ini menghantui kita

Ketiga, demi kepentingan yang lebih besar sehingga berbagai kasus kejahatan yang mengganggu "stablitas nasional" sedapat mungkin diredam, disembunyikan, atau memang terselubung, sehingga tidak dapat dipelajari secara objektif dan terbuka oleh masyarakat banyak.

Persoalannya adalah indikasi apa saja yang memungkinkan untuk mengetahui bahwa kriminalitas terselubung sesungguhnya secara terus menerus menteror ma­syarakat. Hal tersebut dapat diketahui ketika tanpa disadari atau tidak masyarakat mengalami ketakutan (dalam pengertiannya yang luas), perasaan penuh prasangka, tidak merasa merdeka dan leluasa sebagai manusia, terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara pasti kekuatan apa yang sesungguhnya mencengkramnya.

Sebagai akibatnya, jika hal tersebut dibiarkan terus menerus, tentu saja sangat berdampak bagi; apakah itu pembangunan manusia Indonesia "seutuhnya", atau pembangunan nasional Indonesia secara umum. Paling tidak masyarakat Indonesia tidak memiliki keberanian maksimal mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya secara terbuka, karena mengalami keterbatasan dan ketakutan tertentu apakah itu berhadapan dengan wacana politik, ekonomi, sosial, dan nilai-nilal budaya.

Persoalan tersebut tentu saja bukan hanya terjadi di Indonesia. Hampir di semua negara di dunia ini menghadapi problem yang sama dengan kadar komplikasi yang berbeda sesuai dengan konteks dan kecenderungan negara bersangkutan. Di Amerika contohnya, secanggih apapun aparat dan teknologi keamanannya, tetap saja kriminalitas tersembunyi tidak kalah banyaknya dengan kejahatan yang terungkap.

Ironisnya, semakin canggih aparat dan peralatan anti kejahatan yang mendu­kungnya, maka semakin canggih pula jenis kejahatan yang muncul karena ia selalu mencoba untuk mengatasinya. Dari sini dapat pula diperhitungkan bahwa kualitas (cara) kejahatan tersembunyi di negara maju relatif lebih canggih dibanding dengan yang belum maju. Atau katakanlah pula rata-rata kualitas kejahatan yang terungkap di negara maju juga relatif lebih baik dibanding di negara yang belum maju. Apakah ini kemudian juga berpengaruh pada pengembangan analisis teoretik maupun opera­sionalisasinya di lapangan, merupakan problem tersendiri.

Namun, yang lebih penting dari itu adalah akibat dan implikasinya kepada masyarakat yang tentu saja berbeda-beda. Artinya, minimal perlu pula diperhitung­ kan daya tahan masyarakat berhadapan dengan ancaman kejahatan terselubung yang bak hantu gentayangan merongrong "hati nurani" masyarakatnya pada suatu proses kriminalisasi. Jika tidak mendapat perhatian serius untuk ditanggulangi tidak musta­hil kejahatan tersembunyi itu menyelusup dalam diri masyarakat menjadi krimina­lisme.

* * *
Lebih jauh, apa yang dapat dikerjakan untuk sedikit banyak mengatasi atau mengantisipasi kriminalitas terselubung itu. Berangkat dari beberapa uraian di atas mungkin ada beberapa hal yang dapat dijadikan agenda buat kita untuk direalisasi­kan.

Pertama, menumbuhkan kesadaran kritis, rasional, dan keberanian perlawanan dalam diri masyarakat untuk mempersoalkan hal-hal yang menghalangi terungkapnya kriminalitas terselubung. Itu artinya, pada tingkat tertentu masyarakat juga harus memiliki keberanian untuk berhadapan dengan sistem, struktur, dan birokrasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mengenkang.

Kedua, hal demikian sekaligus  akan membantu tegaknya hukum yang diberla­kukan. Karena pada akhirnya yang menjadi benteng terakhir apakah kejahatan (terse­lubung) itu semakin merajalela atau tidak justru ketika bagaimana kita secara kese­luruhan memperlakukan hukum. Kalau hukum sendiri mengalami kooptasi berhada­pan dengan kepentingan dan kekuatan tertentu yang lebih besar, sulit berharap berbagai bentuk kriminalitas dapat dikurangi.

Ketiga, hal tersebut muskil tercapai jika tidak mendapat dukungan dari pemer­intah. Apakah itu berkaitan dengan kehidupan politik yang terbuka dan transparan, demokratisasi, serta penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi dan hak rasa aman masyarakat yang sepantasnya dijunjung tinggi, dilindungi, dan dihormati. * * *

MASYARAKAT DAN PARADIGMA KRIMINALITAS


Tidak jarang di dalam berbagai percakapan, muncul pertanyaan aneh. Jika Anda membaca koran atau majalah, berita atau rubrik apa yang paling dahulu Anda baca?. Kalau saya yang ditanya, maka dengan tidak ragu-ragu saya akan menjawab berita-berita kriminal. Seperti halnya pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, peram­pokan, perselingkuhan, korupsi, bunuh diri karena putus cinta, dll. (Dan ini pula yang menyebabkan saya sangat tertarik membicarakan masalah-masalah kejahatan).

Saya tidak tahu, apakah jawaban itu dianggap sakit atau tidak. Saya juga tidak perlu berprasangka bahwa sebetulnya sebagian besar orang memiliki kecenderungan yang serupa dengan saya. Akan tetapi, saya memang menduga, jika berita-berita kriminal bukan sesuatu yang penting, mengapa hampir semua media massa memberi­takannya? Bahkan dalam teori jurnalistik, dia menjadi salah satu tema penting apakah sebuah berita bernilai berita atau tidak (Assegaff, 1985).

* * *
Secara sederhana, kriminalitas, atau biasa juga disebut kejahatan adalah tinda­kan yang melanggar nilai-nilai kebaikan bahkan "kesucian", yang disepakati oleh mayoritas masyarakat pendukungnya, dan biasanya berdasarkan ajaran agama atau etika tertentu, atau bahkan adat istiadat setempat.

Tentu saja definisi sederhana itu sama sekali tidak memadai. Karena, cukup banyak prilaku yang dianggap melanggar nilai-nilai kebaikan dan "kesucian", tidak dianggap sebagai kejahatan. Perbuatan melacur, minum minuman keras, berjudi, (dalam budaya Jawa dikenal ma lima) misalnya, walau hingga hari ini tetap dianggap perbuatan tidak baik dan salah, tetapi sepertinya "tidak" dianggap sebagai perilaku kejahatan (Bdk. Magnis-Suseno, 1985). Kalau suatu kali ada kasus sehingga harus berurusan dengan aparat kepolisian, yang dipersoalkan bukan perbuatan melacur atau berjudinya, tetapi lebih pada implikasi dari perbuatan melacur, berjudi, atau mabuk. (Padahal yang kita musuhi adalah kejahatan, sehingga jangan heran jika perbuatan seperti itu seolah tak akan pernah teratasi).

Lain halnya jika kita membacok orang, baik dalam keadaan sadar atau tidak. Dengan serta merta perbuatan tersebut diangap sebagai kejahatan. Walaupun, per­buatan membacok, bahkan hingga membunuh, jika terbukti karena membela diri atau terpaksa, dapat dianggap bukan kejahatan. Ini memperlihatkan bahwa perilaku yang sebelumnya dianggap jahat, bisa berubah karena kondisi-kondisi tertentu. Ada kondi­si-kondisi keterpaksaan yang diakui dapat menetralisir suatu perbuatan dianggap jahat atau tidak.

Lain lagi dengan perbuatan perkosaan seksual. Rasanya, tidak ada istilah seseorang terpaksa memperkosa dalam arti yang sesungguhnya. Terhadap kasus ini sangat sulit menetralisir perbuatan pemerkosaan hingga pada titik tertentu ia tidak dianggap sebagai kejahatan. Karena jika demikian halnya, dia bukan lagi pemerko­saan, tapi cuma perzinahan. Batas antara perkosaan dan perzinaan kadang-kadang memang tipis.

Andaikan pula kasus pencurian. Jika ternyata tidak ada pihak atau seseorang yang merasa miliknya tercuri, tidak ada alasan yang dapat dijadikan argumen bahwa perbuatan itu adalah kejahatan. Percurian tersebut, seperti halnya ma lima, hanya dianggap bersalah secara internal, terutama dalam perspektif agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ada istilah lain yang biasa disebut dosa.

Berangkat dari berbagai ilustrasi di atas, diakui bahwa begitu banyak dimensi suatu tindakan yang melanggar nilai-nilai kebaikan, sebagai kesalahan, tetapi belum tentu sebagai kejahatan. Suatu tindakan baru dapat dikatakan kriminal jika terjadi perugian, penyakitan, pengorbanan, pemaksaan, dan sejenisnya, atas satu pihak kepada pihak lain, sekaligus secara hukum (positif) perbuatan tersebut harus pula terbukti.   

* * *
Dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun yang berkaitan dengan wacana krimi­nalitas, ia selalu berdimensi sosial. Bunuh diri misalnya, walau terkesan sebagai kejahatan individual, tetapi hal tersebut terjadi karena ada lingkaran atau kondisi sosial yang memungkinkannya.

Itulah sebabnya, muncul pertanyaan berikut. Adakah sisi lain yang perlu dimaklumi dari kriminalitas. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan suatu penjelasan bahwa kriminalitas memiliki paradigma tersendiri yang dikondisikan seluruh dimensi bermasyarakat, sehingga pada akhirnya berperan besar apakah seseorang menjadi pembunuh, pemerkosa, koruptor, atau sekadar pengemis jalanan. Tidak terkecuali sebaliknya.

Mengikuti tesis tersebut, tidak mustahil masyarakat, terlebih-lebih pemerintah, selayaknya ikut bertanggung jawab untuk menanggung sejumlah "dosa sosial"  kejahatan dalam segala maknanya. Itu artinya, kesadaran bagi upaya-upaya demokra­tisasi dan toleransi terhadap kejahatan seharusnya memegang peranan yang berarti bagi pendakwaan jenis-jenis kesalahan ketika seseorang terbukti tidak memiliki peluang besar untuk tidak berbuat kejahatan.

Logikanya cuma sederhana. Seorang pejabat melakukan korupsi bukanlah jenis kejahatan yang begitu saja bisa disamakan dengan seseorang mencopet sejumlah uang yang mana uang copetan tersebut menentukan keberlangsungan hidupnya atau mati kelaparan. Artinya, ada jenis kejahatan yang kemungkinan dapat dihindari jauh lebih besar dari satu kejadian dibanding  dengan yang lain.

Sekali lagi, diandaikan pula memperbandingkan jenis kejahatan pembunuhan dan pemerkosaan. Pertama, dari segi perhitungan kerugian material dan nonmaterial dari dua jenis kejahatan itu. Pemerkosaan, bagaimanapun adalah kejahatan karena secara langsung atau tidak telah terjadi penindasan, pemaksaan, perugian, pesakitan, atas satu pihak kepada pihak lain yang dalam perspektif apapun dianggap melanggar konsensus nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan.

Mungkin dalam arti lain telah terjadi pula semacam "pembunuhan" nonmateri­al terhadap masa depan yang diperkosa. Namun, tetap saja perkosaan bukan sebagai pembunuhan dalam arti yang sesungguhnya. Pembunuhan telah memotong habis semua peluang yang mungkin saja dapat terjadi bagi terbunuh, tidak pada pemerko­saan.

Kedua, mengkaji kemungkinan ada "kerja sama" antara yang diperkosa dan yang memperkosa. Suatu hal yang mungkin tidak terjadi dalam pembunuhan. Meli­hat peluang itu, sesungguhnyalah pemerkosaan lebih demokratis dibanding pembu­nuhan. Lebih jauh, jika itu yang terjadi, maka sekecil apapun peluang "kerja sama" itu, yang terjadi dalam perkosaan adalah sekadar melakukan "demokratisasi" yang diletakkan bukan pada tempatnya.

Ketiga, walaupun kemungkinan ini juga sangat kecil yakni diandaikan terjadi distribusi "kenikmatan". Walau saya sendiri berharap anggapan saya ini salah. Kenyataan tersebut didukung suatu kesadaran terhadap peluang untuk mencari "kenikmatan" dengan cara yang normal menemui berbagai kendala. Apakah itu berkaitan dengan persoalan ekonomis, sosial, atau psikologis. 

Keempat, kemungkinan bias-bias lain. Bahwa secara luas tindakan kriminal sesungguhnya, sengaja/disadari atau tidak, bagian dari perlawanan tersembunyi terhadap realitas yang dianggapnya tidak berpihak secara ramah dan adil pada pelaku kejahatan, sehingga tak ada salahnya ia beritikat merubah realitas itu agar berpihak kepadanya.

Uraian di atas memang baru memperbandingkan dua bentuk kejahatan. Tentu saja bisa pula memperbandingkan antara satu bentuk kejahatan dibanding dengan yang lain. Antara penipuan dan korupsi, antara perampokan dan perselingkuhan, antara pembantaian dan bunuh diri, bahkan antara kejahatan politik dan pencurian ayam.


* * *
Dengan begitu, tanpa bermasuk bermain-main dengan semantik, saya agak membedakan kesalahan sebagai kejahatan dan kesalahan sebagai semata-mata kesala­han. Ilustrasi sebagai berikut.

Pertama, jika seorang bocah kanak-kanak menjawab tiga kali lima sama dengan tujuh belas, maka itu sebuah kesalahan, bukan kejahatan, terlepas di da­lamnya ada unsur kesengajaan atau tidak. Si bocah tidak merugikan siapapun. Dia hanya melanggar suatu aturan main internal, suatu rumus-rumus yang dibakukan. Ia hanya merugikan dirinya sendiri jika itu dikaitkan dengan sistem evaluasi tertentu.

Kedua, kejahatan pastilah sebuah kesalahan, tetapi itu tidak dapat dikenakan sebaliknya. Mengingat uraian di atas, serta kondisi makro lainnya yang memungkin­kan terjadinya kejahatan, maka siapa pun ia yang berdiri sebagai korban (baca: masyarakat), maka sepantasnya ikut menanggung "dosa sosial" atas partisipasi langsung atau tidak terhadap terjadinya kejahatan. Walaupun di sisi lain sesungguhn­ya ia juga sebagai korban. 

Ketiga, selayaknya pula kita membedakan setiap jenis dan kasus, apakah suatu kesalahan memang sebuah kejahatan atau sebaliknya. Ini berkaitan dengan adanya persepsi di masyarakat kita bahwa kesalahan identik dengan kejahatan. Padahal begitu banyak hal yang masih perlu dikaji dan diperhitungkan sehingga logika premis tersebut tidak harus demikian.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika diperlukan perlakuan khusus kepada orang yang dianggap melakukan kesalahan, karena pada tingkat tertentu perbuatan tersebut seperti pinang dibelah dua dengan prilaku  kejahatan. Persoalannya, menga­pa harus melakukan kesalahan yang tidak perlu. Karena, perbuatan apapun itu, kesalahan adalah kebodohan. * * *

KRIMINALISASI DAN KRIMINALISME


Di antara berbagai jenis dan bentuk kriminalitas, apa yang paling ditakuti? Mungkin betul apa yang disinyalir Stephan Hurwitz (1986), bahwa yang paling ditakutkan  adalah ketika kriminalitas dijadikan semacam profesi dan/atau mata pencarian. Dalam konteks tersebut, pada tataran tertentu kriminalitas tidak lagi sebagai suatu aktivitas atau tindakan terpaksa dan tidak dapat dihindari, tetapi justru dengan kesadaran penuh merupakan cara dan pilihan pertama dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan.

Tesis di atas memang tidak terlalu baru. Apa lagi kecenderungan tersebut telah terjadi di negara-negara seperti beberapa negara di Eropa, Amerika, bahkan tidak terkecuali Cina dan Jepang.  Misalnya tampak dari lembaga-lembaga (organisasi) kejahatan internasionalnya, atau biasa disebut Mafia di Eropa atau Amerika, Triad di Cina, atau Yakuza di Jepang, sebagai contoh yang paling dikenal.

Persoalannya, bagaimana halnya di Indonesia. Apakah mungkin dalam ma­syarakat Indonesia akan atau bahkan telah tumbuh dan melembaga kejahatan- kejahatan yang terorganisir dan termanajemen secara profesional yang diorientasikan sebagai mata pencarian. Hal ini sekaligus berkaitan dengan sinyalemen para pakar dan pemerhati masalah kejahatan, bahwa ada kemungkinan organisasi kejahatan internasional telah merambah Indonesia. Istilah terorganisir dan termanajemen seara porfesional mungkin perlu dijelaskan bahwa dalam arti bisa jadi sudah banyak kelompok-kelompok kejahatan yang terorganisir di Indonesia, tetapi mungkin tidak profesional. Sebaliknya, mungkin profesional dalam pengertian tertentu, tetapi tidak terorganisir dengan baik. Dengan begitu, saya sedikit membedakan keperluan pen­gorganisasian dan manajemen.

Di sini tidak dipersoalkan kemungkinan jaringan kriminalitas internasional yang disinyalir telah merembet ke Indonesia, tetapi lebih difokuskan pada peluang apa saja yang memungkinkan kejahatan semakin mengkooptasi masyarakat Indone­sia. Dalam hal ini saya sebut sebagai kriminalisasi, semacam proses yang membuat orang menjadi jahat. Kemudian implikasi dari kriminalisasi itu, dalam hal ini disebut sebagai kriminalisme.

* * *
Dalam wacana kriminologi, kriminalisasi biasa diartikan sebagai proses untuk menentukan sebuah aktivitas atau prilaku disebut jahat (Stephan Hurwitz, 1986). Dalam kesempatan ini saya ingin melebarkan pengertian tersebut tidak semata-mata berhenti pada upaya identifikasi. Alih-alih lebih-lebih sebagai suatu proses yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan aktivitas kriminal dengan kesadaran penuh dan merupakan pilihan yang tidak dapat dihindari.

Sebagai ilustrasi, walaupun masih perlu diperdebatkan, disinyalir banyak di antara para penjahat justru dari mereka yang secara sosial dan ekonomis merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Dari sinyalemen tersebut paling tidak akan diketahui dua hal. Pertama, sebagian besar kasus kejahatan, secara umum sangat berkaitan dengan persoalan ekonomis. Terlepas apakah itu merupakan alasan utama atau tidak, banyak kejahatan sangat mungkin bermotifkan ekonomis (E.H. Suther­land dan D.R. Cressey, 1960). Katakanlah prinsip bagaimana bekerja sedikit mu­ngkin dengan keuntungan/kepuasan sebesar mungkin.

Kedua, pada umumnya pelaku kejahatan adalah dari mereka yang secara umum rasa memiliki kehormatan atau harga diri sangat rendah. Sebagai konsekuensinya, mereka yang merasa tidak terlalu terbebani rasa malu jika suatu ketika diketahui atau tertangkap sebagai penjahat, lebih berpeluang besar untuk melakukan kejahatan. (Sinyalemen ini tentu sangat tidak lengkap, hanya diambil beberapa poin penting sesuai dengan kebutuhan tulisan ini).

Berangkat dari persoalan itu, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperha­tikan berkaitan dengan struktur psiko-sosiologis masyarakat Indonesia. Yakni apakah mungkin persoalan ekonomis yang dihadapi mayoritas masyarakat Indonesia akan menjadi preseden utama bagi begitu banyak aktivitas kriminal yang selalu kita dengar dan baca di berbagai media massa. Maupun yang kita saksikan sendiri, baik yang tersembunyi ataupun tidak.

Secara garis besar, memang ada dua kemungkinan mengapa orang melakukan kejahatan. Pertama, pada sisi tertentu manusia memiliki watak jahat. Cuma karena proses dan perkembangannya, baik secara pribadi atau sosial, ada yang mampu meredam atau bahkan meniadakan watak tersebut. Minimal lingkungannya tidak memberi peluang untuk mengembangkan watak tersebut, atau dalam perspektif Freud (1986) direpresi oleh kebudayaannya. Akan tetapi, kedua, ada pula ketika struktur maupun birokrasi-sosial sangat memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas tertentu di luar prosedur resmi, yang melanggar konsen­sus, berdasarkan nilai-nilai etik tertentu pula. (Lihat juga penjelasan Romli Atma­sasmita, 1992; atau Bdk. Stephan Hurwitz, 1986).

Sebagai analogi adalah polemik tentang kemiskinan. Ada yang memakai para­digma struktural sehingga disebut sebagai kemiskinan struktural, dan sebaliknya kita mengenal istilah kemiskinan mental. Tidak jauh berbeda, perihal tersebut terjadi pula pada budaya kriminalitas. Artinya, walau kedua paradigma tersebut saling berdialek­tika, sesungguhnya main stream apa yang dirasakan dominan sehubungan dengan berbagai bentuk kejahatan.

* * *
Apakah ilustrasi dan uraian di atas masih memperlihatkan akurasi yang tak terbantahkan. Barangkali tidak. Apalagi jika menilik perkembangan jenis dan bentuk kejahatan yang tidak lagi semata-mata bermotifkan ekonomis. Lebih dari itu adalah adanya kecenderungan politis yang menjadi "skenario" bagi praktik dan kepentingan tertentu yang lebih besar yang bahkan tak tersentuh dan tak terbaca ujung pangkaln­ya oleh mata masyarakat.
Saya tidak bermaksud terlalu berprasangka bahwa pada tataran tertentu sistem kekuasaan kita terlalu memberi hati bagi praktik-praktik tertentu sebagai upaya bagi stabilitas dan status quo kekuasaannya. Cuma prasangka itu bisa saja menjadi kenya­taan jika pemerintah, yang nota bene sebagai pihak penguasa, tidak memiliki cara yang taktis dan strategis dalam memecahkan problem ketika masyarakat semakin sadar dan tahu di mana letak persoalan sesungguhnya.

Pada sisi lain, pada dasarnya kejahatan dimungkinkan terjadi karena didukung oleh suatu keadaan yang kondusif sehingga seseorang atau sekelompok orang merasa serba kekurangan, tidak pernah merasa puas, dan selalu berusaha merealisasikan realitas yang ditolaknya itu agar sesuai dengan harapan dan impiannya. Tidak jarang cara atau tindakan untuk mendapatkan harapan atau impiannya itu dengan segala cara. Seperti kita mengenal konsep tujuan menghalalkan cara. Logika yang memen­tingkan hasil ini tentu sangat berbahaya karena masyarakat akan melakukan kekera­san-kekerasan dan pemaksaan dalam proses "pekerjaan"-annya agar sesuai dengan apa yang ditargetkan. Masyarakat tidak mampu melihat bahwa apapun yang sehar­usnya dihasilkan selayaknya melalui prosedur logis yang dapat dipertanggungjawab­kan sesuai tuntutan proses alami dari berbagai aktibitas kehidupannya.

Tampaknya, sejauh ini justru tindakan-tindakan tujuan menghalalkan cara dan kiat meraih keuntungan sebesarnya tersebutlah yang perlu diperhitungkan bagi; apakah itu aktivitas yang menyimpang secara terbuka dan terselubung, halus atau kasar, direstui atau tidak, yang sangat dirasakan sehari-hari, dan berdampak bagi kehidupan sosial yang sehat, sejahtera, aman, dan sentosa.

Terkait dengan itu, sebetulnya kriminalitas muncul lebih karena suatu proses psiko-sosial yang mengkonstruksi subjektivitas seseorang atau sekelompok orang berkaitan dengan realitas sosial yang sehari-hari dihadapinya secara terus-menerus. Terlepas dari realitas sosial objektif, ada realitas lain yang juga menjadi pelajaran penting bagi pembentukan persepsi yang pada gilirannya akan menentukan bentuk tindakan dan kebijakan seperti apa yang akan diambil seseorang atau sekelompok orang berkaitan dengan problem hidup kesehariannya. (Untuk persoalan persepsi lebih jauh lihat McDavid dan Harari, 1968).

Realitas itu misalnya, fenomena ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekua­saan yang menindas, kekuatan ekonomi yang serba menentukan, hukum yang tidak jelas, perlindungan terhadap rasa aman yang tidak terjamin, dan sebagainya. Kese­muanya itu, pada akhirnya seolah berubah menjadi realitas yang demikianlah adan­ya. Dia dijadikan legitimasi kebenaran. Yang tidak begitu justru ketinggalan, tidak relevan, dan salah. Secara disadari atau tidak, realitas seperti itu memproses manu­sianya terkungkung dalam suatu proses pemiskinan nilai-nilai kemanusiaan yang ideal seperti dicita-citakan oleh semua agama dan etika moral.

Akibatnya, kita menjadi begitu gelisah jika cita-cita terhadap rasa aman, sento­sa, sejahtera, perasaan merdeka, kehidupan dengan etik dan kesusilaan yang tinggi, justru mendapat tantangan yang serius dan terus menerus ketika kita harus dihadakan pada keniscayaan kriminalitas. Tidak mustahil pada gilirannya yang terjadi adalah apa yang disebut kriminalisme. Yakni suatu kondisi sosial budaya yang memproses seseorang/sekelompok orang melakukan kejahatan bukan demi sesuatu yang lain, tetapi demi kejahatan itu sendiri. Pelaku kejahatan merasa puas jika masyarakat yang menjadi sasaran kejahatannya merasa takut, terteror, dan merasa tidak aman. Mungkin itu sedang kita alami. * * *