Berbagai berita dan cerita tentang kerusuhan dan keberingasan massa, akhir- akhir ini telah menjadi wacana yang dominan dalam masyarakat kita. Sebagai satu bentuk aktivitas, dalam perspektif tertentu aktivitas tersebut dianggap sebagai kriminalitas massa.
Ekspos dan perhatian terhadap kejahatan massa tentu saja lebih besar dibanding dengan
kejahatan individual. Di samping melibatkan manusia lebih banyak, pada umumnya
kejahatan massa
juga lebih terpantau dibanding kejahatan yang bersifat individual.
Bahkan dalam sebuah teori disebutkan bahwa sesungguhnya
teori-teori yang dikembangkan tentang kriminalitas tidak begitu canggih. Hal
tersebut terjadi karena teori yang dikembangkan berdasarkan data kejahatan yang
terdeteksi atau diketahui. Padahal alangkah banyaknya bentuk dan jenis
kejahatan yang tidak atau belum diketahui.
Berbagai analisis juga telah dilontarkan oleh para ahli
sesuai dengan bidang kecenderungan dan perspektifnya masing-masing. Dalam
tulisan ini, saya akan coba menguraikan bahwa terjadinya kejahatan itu tidak
semata-mata sebagai kejahatan yang berifat insidental dan terpaksa, tetapi
lebih dari itu adalah ketika kejahatan lebih sebagai kebudayaan.
* * *
Cukup banyak rumusan teoritik yang berkaitan dengan definisi
kebudayaan. Secara disederhanakan dimaksudkan sebagai cara manusia/masyarakat
dalam memahami, menghayati, mengekspresikan diri dan dunianya yang
termanifestasikan dalam berbagai prilaku lahiriah maupun simbolis, sekaligus
sebagai upaya mengatasi dan menyiasati berbagai permasalahan dalam hidupnya.
Perlu ditegaskan bahwa kebudayaan lebih sebagai proses
akumulatif berkelanjutan, walaupun pada dasarnya berkebudayaan merupakan
proses belajar. Namun, itu tidak berarti kebudayaan yang telah terbentuk,
ketika dipelajari dan dipraktikkan oleh generasi berikutnya harus kembali dari
awal. Konsep tersebut sekaligus mengisyaratkan letak perbedaan kebudayaan di
satu sisi dan peradaban di sisi lain, sisi-sisi mata uang. Sebagai ilustrasi,
kebiasaan berpakaian, yang pada awalnya untuk mengatasi tantangan alam, pada
akhirnya menjadi kebudayaan. Penemuan hingga model-model berpakaian telah
didahului oleh suatu proses yang panjang. Karena telah menjadi kebudayaan, sebegitu
jauh kita tidak merasa perlu mengulang bagaimana cara awal menemukan baju atau
celana.
Namun, bagaimana baju dan celana tersebut diolah dan
disajikan, di sinilah letak peradaban. Ada
berbagai faktor yang mempengaruhi bagaimana pakaian tersebut diolah dan
ditampilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah "temuan
teknologi", --teknologisasi--, yang pada dasarnya juga merupakan hasil
dari proses kebudayaan. Tahap-tahap temuan teknologis itu merupakan peradaban.
Dari tahap berpakaian ala kadarnya hingga bermacam-macam model dan estetika
sedemikian rupa.
* * *
Persoalan awal, apakah keriminalitas merupakan kebudayaan?
Dalam cerita lama kita mengenal bagaimana kejahatan pertama kali dilakukan
manusia yakni ketika Kabil membunuh adiknya Habil. Terlepas dari berbagai sebab
mengapa Kabil membunuh adiknya, yang jelas sebelumnya dia tidak pernah belajar
bagaimana dan mengapa harus membunuh. Kabil tidak tahu bahwa akibat
perbuatannya itu adiknya mati dan dinamakan pembunuhan.
Bahkan, mungkin pada waktu itu secara relatif perbuatan
tersebut tidak langsung diketegorikan sebagai kejahatan. Karena konteks
kejahatan secara langsung berkaitan dengan kemungkinan konsensus hukum yang
berlaku dan diberlakukan, serta akibat yang ditimbulkannya kepada masyarakat
dan lingkungannya.
Yang jelas, suka atau tidak, ternyata di dalam diri manusia
memiliki potensi "negatif", dalam arti berpotensi melakukan sesuatu
yang kemudian dinamakan kejahatan, jika ditinjau dari berbagai seginya. Ketika
cara itu bisa dilakukan lagi, dalam prosesnya yang panjang ia menjadi cara
manusia untuk "mengatasi" atau "mengantisipasi" atau
bahkan "menyelesaikan" problem hidupnya. Ia menjadi semacam kebudayaan.
Karena kebudayaan berjalan dan berubah semakin kompleks, peradaban menjadi lebih
canggih, tak urung, cara orang melakukan kejahatan dituntut semakin lihai. Yang
berubah adalah bukan kualitas kriminalitas, tapi cara orang melakukan kejahatan
serta respon masyarakat dalam memahami perangai kejahatan.
Katakanlah, dulu orang membunuh hanya memakai senjata tajam.
Waktu itu, masyarakat meresponnya dengan agak terkejut. Ketika ditemukan
senjata api, cara pembunuhan lebih mudah.
Masyarakat bertambah kompleks dan masalah yang ditimbulkan semakin rumit,
kejahatan secara kuantitatif meningkat terus. Resikonya, apalagi didukung oleh
pemberitaan media massa
yang dapat dibaca dan didengar kapan pun dan di mana pun, masyarakat semakin
terbiasa dengan berbagai kejadian kejahatan.
Dalam hal ini respon masyarakat terkondisi dalam dua cara.
Secara sosial masyarakat semakin tak acuh dengan berbagai kejadian yang terjadi
dalam masyarakatnya, tetapi secara individual ia menuntut pengamanan maksimal
bagi dirinya atas berbagai kejahatan. Itulah sebabnya, masyarakat mungkin
semakin tak peduli dengan kejahatan pencurian, pemerkosaan, dsb., tetapi ia
tidak pernah mentolelir jika kejadian itu menimpa dirinya.
Konsekuensinya, bersamaan dengan kemudahan yang dimungkinan
oleh teknologi yang dapat dipakai untuk melakukan kejahatan, teknologi
pengamanan juga dipercanggih sedemikian rupa. Pecanggihan sistem pengamanan
bukan saja pada teknologi dan sistemnya, tetapi dapat pula terjadi pada
kemampuan masyarakat secara individual dan kolektif untuk mengantisipasinya.
Kondisi itu berbemerang ketika para kriminal dengan tidak
berputus asa mempercanggih teknik (peralataan), cara, dan metode tindak
kejahatan. Sebab dan alasan melakukan kejahatan juga semakin beragam. Hal
tersebut terbukti hingga hari ini kriminalitas terus meningkat.
* * *
Sebegitu jauh, problem di atas mengandung sesuatu yang
ironis. Ketika masyarakat semakin terbiasa hidup dalam suasana kejahatan, pada
tataran tertentu ia tidak lagi dapat membedakan mana perbuatan yang dianggap
jahat dan mana yang tidak. Tegas kata, bisa jadi masyarakat terjebak dan hidup
dalam cara dan sistem kejahatan itu sendiri.
Penjelasannya demikian. Diakui bahwa akibat iptek, dalam
banyak hal perubahan sosial budaya memperlihatkan sisi peradaban yang
menggembirakan. Teknologi kesehatan, pertanian, transportasi, listrik, peralatan
rumah tangga, komputerisasi mekanisme kerja, komputerisasi birokrasi, dsb.,
bertambah baik.
Akan tetapi, fenomena itu tidak mengurangi kenyataan bahwa
sejumlah besar masyarakat Indonesia
secara relatif hidup dalam konteks yang "pas-pasan". Yang jelas,
jangankan kemampuan untuk mengatasi problem masyarakatnya, problem kejahatan
misalnya, peluang untuk mengatasi problemnya sendiri sudah demikian sulit.
Akibatnya, masyarakat terutama untuk mengatasi problem
kebutuhan ekonomisnya, hidup dalam berbagai cara tambal sulam serabutan, untuk
tidak mengatakan terpaksa atau tidak menempuh jalur-jalur "ilegal".
Padahal kita tahu jalur ilegal itu bagaimana pun merupakan kejahatan.
Bentuk kejadiannya bukan saja seperti korupsi, manipulasi,
penindasan struktural dan mental, berbagai strategi ("tipu
muslihat") bisnis, monopolisasi, tetapi lebih jauh adalah pula seperti
perkelahian massal, kerusuhan nasional, kehidupan sosial politik yang tidak
demokratis, apatisme sosial, dan sebagainya.
Berbagai prilaku illegal tersebut tidak hanya dimungkinkan
oleh sistem dan birokrasi sosial yang longgar, tidak efisien dan efektif,
tetapi lebih jauh justru mendapatkan legitimasinya dari mekanisme birokrasi
"tahu sama tahu".
Tindak kejahatan akhirnya melingkar, menjerumuskan,
memperangkap, sehingga siapa pun ia, sadar atau tidak mengalami kesulitan
untuk ke luar dari jaringan kejahatan itu. Tidak mustahil bagi yang mencoba ke
luar dari permainan, justru dianggap aneh, sok suci, dll., dengan resiko
terpencil atau dipencilkan.
Mau tidak mau, kita merupakan bagian atau bahkan subjek dari
berbagai kejahatan yang menerpa. Tidak berlebihan jika saya percaya,
sesungguhnya inilah yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. * * *