bk
Rabu, 29 April 2015
Jumat, 25 Mei 2012
BANTULAH PARA KORUPTOR
Wacana berita dan analisis tentang korupsi dan koruptor sering memojokkan dan menyalahkan para koruptor. Padahal, adalah kenyataan bahwa di Indonesia melakukan korupsi itu mudah. Melakukan korupsi juga sangat dimungkinkan oleh sistem birokrasi yang lemah. Selain itu, korupsi secara relatif biasanya dilakukan secara bersama, tahu sama tahu.
Tidak
heran jika Indonesia memiliki prestasi tinggi soal korupsi. Indonesia memasuki
lima besar negara paling korup di dunia. Hampir dapat dipastikan bahwa korupsi
memberikan konstribusi penting terhadap kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Indonesia.
Hampir semua cara mengatasi kemiskinan tidak ada gunanya kalau korupsi tidak
bisa diberantas.
Dapat
dipastikan korupsi itu salah dan merugikan negara, tetapi lebih-lebih merugikan
rakyat. Itulah sebabnya, di mana pun, kapan pun, korupsi harus dibumihanguskan,
dimusuhi, dilawan, dan dijauhi. Pemojokan kepada koruptor dapat dimaklumi.
Tetapi
kita tahu, bahwa korupsi tidak bisa diberantas jika hanya dimusuhi dan
dicaci-maki. Ketika dicela dan dihujat, para koruptor akan melawan dalam
berbagai cara justru karena ia telah mendapat hukuman hujatan dan caci-maki.
Karena merasa diserang dan dimusuhi, secara alamiah para koruptor akan membela
dirinya.
Bantulah Para Koruptor
Tentu
dalam berbagai cara pula, kita perlu mengubah strategi dan cara bagaimana
mengurangi atau paling tidak sedikit menekan terjadinya korupsi. Salah satu
cara yang bisa ditawarkan adalah bahwa bantulah para koruptor. Kita perlu
menolong para koruptor untuk beberapa hal.
Bantulah
koruptor dengan cara tidak dicaci-maki dan dihujat sehingga mereka tidak merasa
mendapat hukuman dan sanksi secara sosial dan moral. Dengan cara itu, tidak ada
alasan bagi para koruptor untuk telah merasa mendapat hukuman. Tidak ada alasan
bagi para koruptor untuk melihat atau menempatkan masyarakat sebagai musuhnya.
Bantulah
para koruptor dengan cara melindunginya dari berbagai tekanan dan teror. Kita
tahu bahwa banyak koruptor justru tidak bisa membuka mulutnya karena ada
kekuatan lain yang mengancamnya jika mereka buka mulut. Bantuan kepada koruptor
diperlukan agar mereka merasa kuat dan mendapat dukungan untuk mengungkap bahwa
korupsinya bukan dilakukan seorang diri, tetapi karena mendapat dukungan secara
sistemik atau karena ada yang mendalanginya.
Bantulah
para koruptor dari godaan para penegak hukum yang korup. Kita tahu bahwa para
koruptor itu biasanya menjadi “ATM” para pengacara, polisi, jaksa, hakim, dan
sebagainya. Jika masyarakat kompak melindungi para koruptor dari para penegak
hukum yang korup, maka mereka telah mendapat kekuatan yang signifikan untuk
berani melawan para maling resmi tersebut.
Bantulah
para koruptor dengan memberi jaminan bahwa jika mereka mau mengembalikan harta
korupsinya, jika ia mau membuka kedok jaringan kejahatan korupsinya, maka
mereka tidak akan dimusuhi dan bisa kembali menjadi warga biasa secara
baik-baik.
Bantulah
para koruptor, sayangi mereka, dukung mereka, agar berani berkata dan berbuat
jujur. Hal ini penting agar mereka mendapat kekuatan moral untuk memusuhi
dirinya sendiri yang telah bersalah, dan memiliki kekuatan untuk membuktikan
kesalahan atau kebenaran.
Menegakkan Kepercayaan
Ada
banyak hal yang hilang dalam diri masyarakat Indonesia. Salah satu hal yang
hilang itu, dan sekaligus paling parah, adalah kepercayaan terhadap sesama. Apa
sebab hal itu hilang, dan apa implikasinya?
Penyebab
hilangnya kepercayaan di Indonesia adalah bahwa secara historis kita
dicontohkan oleh para pemimpin untuk terlalu mudah dan banyak berjanji, tetapi
sangat sedikit bukti kebenaran dari janji tersebut. Kita diminta saling
menolong dan membantu, tetapi terbukti kalau ada masalah, kita memperjuangkan
nasib kita sendiri-sendiri.
Kita
tahu sama tahu bahwa begitu banyak kebusukan di antara kita. Contoh kecil para
pelajar yang nyontek, para mahasiswa yang buat paper dengan cara copy paste, dan sebagainya. Dan kita
merupakan aktor yang terlibat dalam permainan tersebut. Mereka yang jujur akan
kalah dan tidak bisa bersaing. Orang Jawa bilang, jujur ajur, atau jujur kujur.
Singkat
kata, kita menjadi tidak (mudah) percaya kepada siapapun, bahkan mungkin kepada
diri sendiri. Sebagai implikasinya, kita tidak (mudah) percaya apakah kita bisa
membangun kehidupan menjadi lebih baik. Kita tidak percaya terhadap masa depan.
Untuk meyelamatkan diri sendiri terhadap ketidakpercayaan masa depan, kita perlu
“nabung” sebanyak-banyaknya. Hal paling mudah menabung itu adalah dengan cara
korupsi.
Satu
hal yang paling mendesak untuk diperbaiki adalah rasa percaya terhadap sesama
dan kepercayaan terhadap masa depan yang lebih baik. Kepercayaan bisa dibangun
dengan mengubah paradigma berwacana. Jika kita suka mencela dan menghujat,
mungkin perlu belajar lebih banyak memuji dan berterimakasih. Menurut sebuah
riset, sebagai bangsa yang katanya ramah, kita termasuk bangsa yang pelit
berterimakasih dan memuji.
Karena
tidak percaya, kita sering melihat orang lain sebagai saingan atau musuh. Untuk
melawan itu, mungkin pada awalnya kita perlu mempersiapkan diri menjadi martir.
Perubahan sosial dan budaya memang membutuhkan martir-martir. Kita harus percaya
terhadap perubahan positif, dan percaya bahwa martir itu indah. Hidup ini cuma
sekali, tetapi harus berarti. ***
Aprinus Salam, dosen Pasca
Sarjana FIB UGM, Yogyakarta.
Minggu, 29 April 2012
KRIMINALITAS SEBAGAI KEBUDAYAAN
Berbagai berita dan cerita tentang kerusuhan dan keberingasan massa, akhir- akhir ini telah menjadi wacana yang dominan dalam masyarakat kita. Sebagai satu bentuk aktivitas, dalam perspektif tertentu aktivitas tersebut dianggap sebagai kriminalitas massa.
Ekspos dan perhatian terhadap kejahatan massa tentu saja lebih besar dibanding dengan
kejahatan individual. Di samping melibatkan manusia lebih banyak, pada umumnya
kejahatan massa
juga lebih terpantau dibanding kejahatan yang bersifat individual.
Bahkan dalam sebuah teori disebutkan bahwa sesungguhnya
teori-teori yang dikembangkan tentang kriminalitas tidak begitu canggih. Hal
tersebut terjadi karena teori yang dikembangkan berdasarkan data kejahatan yang
terdeteksi atau diketahui. Padahal alangkah banyaknya bentuk dan jenis
kejahatan yang tidak atau belum diketahui.
Berbagai analisis juga telah dilontarkan oleh para ahli
sesuai dengan bidang kecenderungan dan perspektifnya masing-masing. Dalam
tulisan ini, saya akan coba menguraikan bahwa terjadinya kejahatan itu tidak
semata-mata sebagai kejahatan yang berifat insidental dan terpaksa, tetapi
lebih dari itu adalah ketika kejahatan lebih sebagai kebudayaan.
* * *
Cukup banyak rumusan teoritik yang berkaitan dengan definisi
kebudayaan. Secara disederhanakan dimaksudkan sebagai cara manusia/masyarakat
dalam memahami, menghayati, mengekspresikan diri dan dunianya yang
termanifestasikan dalam berbagai prilaku lahiriah maupun simbolis, sekaligus
sebagai upaya mengatasi dan menyiasati berbagai permasalahan dalam hidupnya.
Perlu ditegaskan bahwa kebudayaan lebih sebagai proses
akumulatif berkelanjutan, walaupun pada dasarnya berkebudayaan merupakan
proses belajar. Namun, itu tidak berarti kebudayaan yang telah terbentuk,
ketika dipelajari dan dipraktikkan oleh generasi berikutnya harus kembali dari
awal. Konsep tersebut sekaligus mengisyaratkan letak perbedaan kebudayaan di
satu sisi dan peradaban di sisi lain, sisi-sisi mata uang. Sebagai ilustrasi,
kebiasaan berpakaian, yang pada awalnya untuk mengatasi tantangan alam, pada
akhirnya menjadi kebudayaan. Penemuan hingga model-model berpakaian telah
didahului oleh suatu proses yang panjang. Karena telah menjadi kebudayaan, sebegitu
jauh kita tidak merasa perlu mengulang bagaimana cara awal menemukan baju atau
celana.
Namun, bagaimana baju dan celana tersebut diolah dan
disajikan, di sinilah letak peradaban. Ada
berbagai faktor yang mempengaruhi bagaimana pakaian tersebut diolah dan
ditampilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah "temuan
teknologi", --teknologisasi--, yang pada dasarnya juga merupakan hasil
dari proses kebudayaan. Tahap-tahap temuan teknologis itu merupakan peradaban.
Dari tahap berpakaian ala kadarnya hingga bermacam-macam model dan estetika
sedemikian rupa.
* * *
Persoalan awal, apakah keriminalitas merupakan kebudayaan?
Dalam cerita lama kita mengenal bagaimana kejahatan pertama kali dilakukan
manusia yakni ketika Kabil membunuh adiknya Habil. Terlepas dari berbagai sebab
mengapa Kabil membunuh adiknya, yang jelas sebelumnya dia tidak pernah belajar
bagaimana dan mengapa harus membunuh. Kabil tidak tahu bahwa akibat
perbuatannya itu adiknya mati dan dinamakan pembunuhan.
Bahkan, mungkin pada waktu itu secara relatif perbuatan
tersebut tidak langsung diketegorikan sebagai kejahatan. Karena konteks
kejahatan secara langsung berkaitan dengan kemungkinan konsensus hukum yang
berlaku dan diberlakukan, serta akibat yang ditimbulkannya kepada masyarakat
dan lingkungannya.
Yang jelas, suka atau tidak, ternyata di dalam diri manusia
memiliki potensi "negatif", dalam arti berpotensi melakukan sesuatu
yang kemudian dinamakan kejahatan, jika ditinjau dari berbagai seginya. Ketika
cara itu bisa dilakukan lagi, dalam prosesnya yang panjang ia menjadi cara
manusia untuk "mengatasi" atau "mengantisipasi" atau
bahkan "menyelesaikan" problem hidupnya. Ia menjadi semacam kebudayaan.
Karena kebudayaan berjalan dan berubah semakin kompleks, peradaban menjadi lebih
canggih, tak urung, cara orang melakukan kejahatan dituntut semakin lihai. Yang
berubah adalah bukan kualitas kriminalitas, tapi cara orang melakukan kejahatan
serta respon masyarakat dalam memahami perangai kejahatan.
Katakanlah, dulu orang membunuh hanya memakai senjata tajam.
Waktu itu, masyarakat meresponnya dengan agak terkejut. Ketika ditemukan
senjata api, cara pembunuhan lebih mudah.
Masyarakat bertambah kompleks dan masalah yang ditimbulkan semakin rumit,
kejahatan secara kuantitatif meningkat terus. Resikonya, apalagi didukung oleh
pemberitaan media massa
yang dapat dibaca dan didengar kapan pun dan di mana pun, masyarakat semakin
terbiasa dengan berbagai kejadian kejahatan.
Dalam hal ini respon masyarakat terkondisi dalam dua cara.
Secara sosial masyarakat semakin tak acuh dengan berbagai kejadian yang terjadi
dalam masyarakatnya, tetapi secara individual ia menuntut pengamanan maksimal
bagi dirinya atas berbagai kejahatan. Itulah sebabnya, masyarakat mungkin
semakin tak peduli dengan kejahatan pencurian, pemerkosaan, dsb., tetapi ia
tidak pernah mentolelir jika kejadian itu menimpa dirinya.
Konsekuensinya, bersamaan dengan kemudahan yang dimungkinan
oleh teknologi yang dapat dipakai untuk melakukan kejahatan, teknologi
pengamanan juga dipercanggih sedemikian rupa. Pecanggihan sistem pengamanan
bukan saja pada teknologi dan sistemnya, tetapi dapat pula terjadi pada
kemampuan masyarakat secara individual dan kolektif untuk mengantisipasinya.
Kondisi itu berbemerang ketika para kriminal dengan tidak
berputus asa mempercanggih teknik (peralataan), cara, dan metode tindak
kejahatan. Sebab dan alasan melakukan kejahatan juga semakin beragam. Hal
tersebut terbukti hingga hari ini kriminalitas terus meningkat.
* * *
Sebegitu jauh, problem di atas mengandung sesuatu yang
ironis. Ketika masyarakat semakin terbiasa hidup dalam suasana kejahatan, pada
tataran tertentu ia tidak lagi dapat membedakan mana perbuatan yang dianggap
jahat dan mana yang tidak. Tegas kata, bisa jadi masyarakat terjebak dan hidup
dalam cara dan sistem kejahatan itu sendiri.
Penjelasannya demikian. Diakui bahwa akibat iptek, dalam
banyak hal perubahan sosial budaya memperlihatkan sisi peradaban yang
menggembirakan. Teknologi kesehatan, pertanian, transportasi, listrik, peralatan
rumah tangga, komputerisasi mekanisme kerja, komputerisasi birokrasi, dsb.,
bertambah baik.
Akan tetapi, fenomena itu tidak mengurangi kenyataan bahwa
sejumlah besar masyarakat Indonesia
secara relatif hidup dalam konteks yang "pas-pasan". Yang jelas,
jangankan kemampuan untuk mengatasi problem masyarakatnya, problem kejahatan
misalnya, peluang untuk mengatasi problemnya sendiri sudah demikian sulit.
Akibatnya, masyarakat terutama untuk mengatasi problem
kebutuhan ekonomisnya, hidup dalam berbagai cara tambal sulam serabutan, untuk
tidak mengatakan terpaksa atau tidak menempuh jalur-jalur "ilegal".
Padahal kita tahu jalur ilegal itu bagaimana pun merupakan kejahatan.
Bentuk kejadiannya bukan saja seperti korupsi, manipulasi,
penindasan struktural dan mental, berbagai strategi ("tipu
muslihat") bisnis, monopolisasi, tetapi lebih jauh adalah pula seperti
perkelahian massal, kerusuhan nasional, kehidupan sosial politik yang tidak
demokratis, apatisme sosial, dan sebagainya.
Berbagai prilaku illegal tersebut tidak hanya dimungkinkan
oleh sistem dan birokrasi sosial yang longgar, tidak efisien dan efektif,
tetapi lebih jauh justru mendapatkan legitimasinya dari mekanisme birokrasi
"tahu sama tahu".
Tindak kejahatan akhirnya melingkar, menjerumuskan,
memperangkap, sehingga siapa pun ia, sadar atau tidak mengalami kesulitan
untuk ke luar dari jaringan kejahatan itu. Tidak mustahil bagi yang mencoba ke
luar dari permainan, justru dianggap aneh, sok suci, dll., dengan resiko
terpencil atau dipencilkan.
Mau tidak mau, kita merupakan bagian atau bahkan subjek dari
berbagai kejahatan yang menerpa. Tidak berlebihan jika saya percaya,
sesungguhnya inilah yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. * * *
PEKEWUH SEBAGAI KEJAHATAN
Alkisah, suatu hari, selesai menghadap Bapak Presiden RI
Soeharto (Kompas, 11/7/1995) seorang menterinya yakni Menpan TB. Silalahi di
hadapan para wartawan mengatakan, "Siapapun ia, apakah ia anak pejabat
atau bukan anak pejabat, jika melakukan kolusi dan korupsi akan ditindak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku". Pernyataan itu sebagai usaha
penyegaran masih berlakunya PP. No. 30/1980 tentang dilarangnya pegawai negeri
atau keluarganya melakukan bisnis jika memanfaatkan fasilitas negara. PP itu
kemudian dimodifikasi dengan menegaskan bahwa bukan pegawai negeri saja yang
dilarang melakukan bisnis, tetapi juga anak pejabat. (PP itu pada masa
"reformasi" (1999) kembali mengalami modifikasi sesuai dengan
tuntutan dan semangat reformatif. Tetapi bagaimana praktiknya dalam kehidupan
sehari-hari, itu urusan tersendiri yang berbeda).
Persoalan anak pejabat muncul setelah anggota DPR kita yang
terhormat mempermasalahkan bahwa trend bisnis anak pejabat semakin merajalela.
Pihak DPR juga mempermasalah kemungkinan anak pejabat memanfaatkan kekuasaan
orang tuanya sehingga memungkinkan terjadinya kolusi di satu pihak dan korupsi
pada sisinya yang lain. Pada kejadian serupa adalah terjadinya nepotisme yakni
semacam "kerja sama bisnis" yang hanya menjaring pihak keluarga
pejabat yang sedang berkuasa.
Pihak DPR juga memperhitungkan dengan teliti bahwa
pemberlakuan dengan konsekuen PP itu jangan sampai mengusik hak-hak azasi
masyarakat (warga negara) yang sesungguhnya dilindungi undang-undang untuk
dengan bebas melakukan kegiatan usaha apa saja. Akan tetapi, paling tidak PP
tersebut diharapkan dapat mengurangi segala bentuk kolusi, nepotisme, serta
kemungkinan terjadinya korupsi lebih besar lagi. Selain itu dimaksudkan juga
agar segala urusan bisnis dilakuan dengan fair, berdasarkan jalur yang benar,
dan bisa dipertanggungjawabkan.
Persoalannya adalah apakah dengan peninjauan dan pengingatan
ulang PP. No. 30/1980 itu memiliki kekuatan menghilangkan kolusi/nepotisme
apalagi korupsi. Analisis persoalan ini berkaitan dengan sampai sejauh mana
kekuatan perundangan/peraturan pemerintah (perintah struktural) berhadapan
dengan "sistem budaya" yang terlanjur berakar di negeri kita ini.
Salah satu sistem budaya yang dimaksud adalah bahwa kita
mengenal budaya pekewuh. Pada awalnya, konsep pekewuh dimaksudkan sebagai rasa
sungkan kepada orang yang lebih tua, pimpinan, atau atasan. Sayang, pada
akhirnya konsep tersebut mengalami transformasi pemaknaan/penggunaan. Tegasnya
konsep tersebut mengalami pragmatisasi. Ia tidak hanya dimaksudkan sebagai
rasa sungkan, tetapi pada akhirnya berarti rasa takut.
Dengan demikian, dengan adanya PP tersebut paling tidak ada
dua kemungkinan "ketakutan" yang bisa dikondisikan. Pertama,
ketakutan (dalam arti sesungguhnya) terhadap pelanggaran PP itu sendiri.
Kedua, ketakutan (dalam konotasi budaya) yakni perasaan "sungkan"
jika tidak mampu/mau berpartisipasi untuk pemudahan- pemudahan urusan bisnis
sang anak pejabat.
Dari hal tersebut, terlihat pula dua dampak yang dapat
diperkirakan. Jika ketakutan pertama yang muncul, maka seseorang yang terlibat
di dalamnya menghadapi resiko untuk tidak disenangi pihak pejabat yang
membawahinya. Itu artinya, ia menghadapi resiko untuk tersingkir dalam
permainan/jaringan budaya kolusi.
Toh, kemungkinan lain, pelanggaran untuk hal pertama, --itu
artinya ia memenangkan kondisi kedua (takut pada hal kedua)--, belum tentu ia
akan "diproses" secara langsung dan terbuka untuk kesalahan itu.
Mengapa? Ada
kemungkinan karena ia telah "berpartisipasi" pada budaya kolusi itu,
ia mendapat perlindungan tertentu dari atasannya atau pejabat yang terkait dan
berwenang.
Dengan demikian, apakah budaya pekewuh itu perlu
dihilangkan. Tentu saja tidak. Kita harus tetap memiliki rasa sungkan dan
hormat kepada orang tua, pimpinan, atau atasan. Yang perlu dibumihanguskan adalah
pragmatisasi budaya tersebut sehingga menyebabkannya melahirkan
ketakutan-ketakutan.
Di sini persoalannya menjadi agak rumit. Dalam arti
bagaimana mungkin salah satu watak manusia yang universal itu bisa dihilangkan
begitu saja. Artinya, siapa bilang kita tidak boleh takut. Itu merupakan
sesuatu yang wajar. Takut terhadap ancaman bahaya, takut dijambret penjahat,
bahkan mungkin takut jika masuk neraka. Akan tetapi, bukan ketakutan seperti
itu yang dimaksudkan untuk diatasi. Ketakutan yang saya maksudkan adalah
ketakutan "manusia modern". Yakni semacam paradoks bahwa
"manusia modern" sekarang takut melakukan sesuatu yang justru
dianggap benar berdasarkan hukum rasional yang berlaku. Hal tersebut terjadi
karena berkaitan langsung dengan pola budaya yang berlangsung sehari-hari.
Tentu saja contoh aktual yang berkaitan dengan itu masih
bertebaran di tengah kita. Misalnya saja, seseorang menjadi "sungkan"
dan takut jika tidak ikut-ikutan memasukkan ayam (semacam ungkapan Melayu yang
artinya korupsi atau mencuri uang) ke kantongnya, --walaupun kecil-kecilan--,
takut disangka sok suci. Contoh lain, jika kelihatan rajin juga tidak berani,
takut dikira mengambil muka atasan, dst. Kita memang masyarakat yang aneh,
penuh prasangka, sering terbalik-terbalik, paradoksal.
Sekali lagi, dalam kondisi seperti itu, masih relevan dan
memiliki kekuatankah halnya seperti UU atau PP atau Kepres, dll, untuk
mengatasi kolusi, korupsi, manipulasi, nepotisme?
Karenanya menjadi beralasan jika rasa takut dalam pengertian
budaya lebih dominan dan lebih sukar diatasi. Ia tidak hanya berkorelasi dengan
adanya kemungkinan keberanian rasional untuk menghadapi kekuatan PP yang
sedikit banyak lahir dari budaya rasional pula. Maksudnya, pada tingkat
tertentu jika jenis pelanggaran lebih dalam kondisi pertama seperti disebut di
atas, maka persoalan pengatasannya juga lebih mudah diatasi oleh
argumentasi-argumentasi rasional.
Apakah dengan demikian justru budaya rasional seperti itu
tidak perlu dikembangkan. Tentu saja perlu, dalam pengertian jika itu
dimaksudkan untuk memberikan tandingan tertentu terhadap budaya
"rasa" yang barangkali tidak lagi relevan dengan kebutuhan
pembangunan menyeluruh terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Apalagi mengingat
salah satu ciri modernisasi adalah perlunya rasionalisasi agar sesuai dengan
tuntutan peradaban.
Mungkin, untuk mengatasi pekerjaan besar tersebut tidak
hanya dengan pembuatan atau pengingatan kembali bahwa kita memiliki peraturan
tertentu tentang etika bisnis, misalnya. Akan tetapi, lebih dari itu adalah
mencoba merumuskan kembali difinisi kita tentang budaya, berbudaya, dan
kebudayaan, secara keseluruhan. Itulah pula sebabnya, pernyataan Umar Kayam
bahwa kita perlu memformulasikan/meredifinisikan kembali konsep kita tentang
kebudayaan menjadi penting Umar Kayam, Prisma, 1987).
Dalam hal ini, reformulasi itu tentu saja berkaitan pada
penekanan dimensi rasionalisasinya. Yakni semacam "pembelaan" atas
pentingnya dimensi rasional atas dimensi rasa dalam rumusan kebudayaan yang
dimaksud. Di samping itu, sekaligus usaha pemahaman lebih jauh bahwa kebudayaan
bukan sesuatu yang sangat identik dengan "berkesenian" yang secara
umum mementingkan dunia rasa. Kebudayaan adalah bagaimana kita memaksimalkan
penggunaan akal kita menghadapi kehidupan ini.
Darinya diharapkan bahwa jika kita dihadapkan pada dua
kondisi di atas, maka yang muncul adalah ketakutan jenis pertama. Dengan
demikian, kalau toh kita dianggap salah karena melanggar peraturan, dan kalau
toh kita memiliki sejumlah argumentasi pembelaan rasional, maka soal salah
benar kita serahkan pada proses hukum. Paling tidak kita lebih siap jika
dikatakan salah secara hukum (rasional).
Dan, perlu diketahui bahwa merubah konsep manusia Indonesia
tentang budaya, berbudaya, dan kebudayaan itu membutuhkan lama waktu. Ia sudah
harus mulai ditanamkan sejak balita,
dipelajari dan dipahami ketika menginjak bangku SD, dan seterusnya.
Dipraktikkan dengan cara-cara yang disiplin agar prilaku lambat laun berubah.
Romo Kuntara W., dalam sebuah diskusi budaya di LIP (2000) pernah bilang bahwa
hanya untuk menertibkan budaya antri/menunggu bis di halte bis, mungkin kita
butuh waktu 50 tahun lagi. Melihat itu paling tidak kita membutuhkan waktu tiga
atau empat generasi, atau bahkan lebih.
Lama waktu yang dibutuhkan itu tidak lantas membuat kecil
hati kita. Karena perubahan evolutif itu memang membutuhkan masa. Tapi paling
tidak kita masih bisa berharap akan suatu perubahan ke arah yang lebih baik,
daripada tidak sama sekali. Karena, tampaknya, keringsekan wajah kebudayaan
kita yang selama ini diatasi dengan upaya-upaya struktural tidak mampu
mengatasi pola-pola budaya yang terlanjur tertanam. Ia mungkin hanya bisa
diatasi dengan kekuatan pada (konsep) kebudayaannya yang sangat opersional
pula. Yang dipraktikkan sehari-hari secara ketat, tentu dengan resiko-resiko
tertentu pula. * * *
WANITA, KRIMINALITAS, DAN GENDER
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian besar
masyarakat kita masih kaget, heran, dan penasaran jika dalam suatu tindakan
kriminal, terutama disertai kekerasan, ternyata pelakunya wanita (atau sebutlah
perempuan). Berbagai bentuk dan jenis media massa juga sering secara khusus mengambil
sudut pandang "faktor kewanitaan" jika kebetulan terlibat dalam suatu
aksi kejahatan.
Apakah rasa heran dan penasaran, serta sudut pandang
"faktor kewanitaan", secara langsung memperlihatkan dimensi
ketimpangan gender. Apalagi ketika disadari atau tidak kriminalitas/kejahatan
seperti diandaikan sebagai perbuatan yang lazimnya dilakukan laki-laki.
Lebih jauh, jika diandaikan tidak terjadi persoalan
ketimpangan gender, apakah wanita lantas memiliki keberanian yang sama untuk
melakukan tindak kejahatan sehingga tindak kejahatan kekerasan bukan lagi semata-mata
urusan laki-laki. Dengannya, jika ia melakukan kejahatan kekerasan tidak lagi
sesuatu yang mengherankan.
Jika memang bukan demikian, persoalan lain apa yang membuat
wanita memiliki keterbatasan tertentu untuk melakukan kejahatan. Apakah
kejahatan berdasarkan kodratnya (nature) membutuhkan faktor-faktor tertentu
yang diandaikan hanya terpenuhi oleh nature laki-laki. Atau mungkinkah
kejahatan bukan persoalan nature, tetapi lebih sebagai persoalan culture. Hal
ini memang membutuhkan penejlsan tersendiri, khususnya jika kita percaya pada
cerita Kabil yang membunuh Habil. Hal apa yang membuat peristiwa itu bisa
terjadi. (Lihat tulisan lain dalam buku ini, "Kriminalitas Sebagai
Kebudayaan").
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, bukan maksud tulisan ini mengajak para wanita untuk lebih agresif dan
berani melakukan kejahatan, seperti sejauh ini agak didominasi oleh kaum
laki-laki. Tulisan ini hanya sekadar mempersoalkan mengapa kriminalitas
disertai kekerasan, lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.
Apakah mungkin suatu ketika kelak, jika ketimpangan gender
bukan persoalan, seperti obsesi para feminis, secara langsung akan berarti pula
bahwa kriminalitas akan semakin merajalela. Dalam arti diandaikan pula karena
situasi dan kondisi sosial budaya yang kondusif, wanita merasa memiliki hak,
peluang, dan keberanian yang sama untuk melakukan tindak kejahatan, dalam
berbagai sifat dan bentuknya.
* * *
Seperti telah disinggung, ada istilah kejahatan disertai
kekerasan. Dari istilah tersebut dapat dipahami bahwa ada dua konsep penting
yang perlu digarisbawahi. Pertama, ada kejahatan semata-mata sebagai satu
kejahatan. Bisa jadi ia berupa penipuan, pencurian, pemerasan, pemfitnahan,
dsb. Dan tidak terlalu mengherankan jika pelakunya baik wanita ataupun laki-laki.
Kedua, bentuk kejahatan itu mengalami pergeseran dimensi
ketika disertai kekerasan sehingga ia tidak lagi bernama penipuan atau
pencurian, tetapi pada sisi lain ia telah bernama perampokan, pemerkosaan, atau
bahkan pembunuhan. Mungkin sama-sama mengambil uang dalam prosedur yang tidak
benar. Jika pencurian dengan cara yang "lunak", maka perampokan
dengan cara yang "keras" (Bdk. Mulyana W. Kusumah, 1990; Romli
Atmasasmita, 1992).
Implikasi dari cara "keras" pada dasarnya adanya
campur tangan fisik. Dalam pengertian terjadinya bentuk dominasi/
pemaksaan/penguasaan fisik atas satu pihak terhadap pihak lain baik apakah
pihak korban secara nyata dirugikan ataupun tidak. Secara sederhana, singkat
kata kita biasa memberikan gambaran bahwa kriminalitas dengan kekerasan adalah
adanya unsur penganiayaan dan atau perusakan fisik terutama terhadap
objek/korban kejahatan.
Dari keterangan ini ada satu hal yang membedakan dimensi
kejahatan tanpa kekerasan dengan yang sebaliknya. Yakni terjadinya intervensi
fisik. Saya tidak tahu pasti apakah dalam perspektif ini akan menjadi lebih
jelas berbagai keterbatasan wanita berkaitan dengan aktivitas kriminalitasnya.
Artinya, secara kebudayaan wanita ditidakberdayakan kemampuan
"fisik"nya, sehingga secara langsung berpengaruh bagi kriminalitas
yang faktor kekerasan fisik merupakan unsur penting (Lihat Arief Budiman, 1985;
Toril Moi, 1987).
* * *
Salah satu persoalan dalam perbincangan gender adalah ketika
kaum wanita dalam sejarah-budayanya yang panjang mengalami domestikasi.
Kemudian disadari atau tidak ruang lingkup aktivitas dan perkembangan fisiknya
mengalami keterbatasan tertentu sehingga kadang-kadang ia agak identik dengan
segala urusan yang berbau rumah.
Tidak dipermasalahkan lebih jauh mengapa hal tersebut sampai
terjadi. Karena yang ingin dipersoalkan justru implikasi apa saja yang terkait
dengannya. Misalnya, mengapa kaum laki-laki seolah menjadi sangat dominan
apakah itu berkaitan dengan peluang-peluang bagi peraihan material, maupun yang
berkaitan dengan akselerasi bagi penguasaannya terhadap ruang dan waktu
(publik).
Proses tersebut secara terus menerus menjadi sesuatu yang
diterima apa adanya tidak saja dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum
wanita itu sendiri. Itulah sebabnya, pada sisi lain sebetulnya dapat pula
dijelaskan ketika banyak orang yang mengatakan bahwa nilai-nilai maskulin
akhirnya justru menjadi tolok ukur pertama dan utama diberbagai kehidupan
masyarakat. Pendek kata terjadinya maskulinisasi.
Pada tataran ini, sebetulnya wanita memiliki
"kultur" yang sama dengan pria untuk juga melakukan kejahatan,
misalnya. Persoalannya, apakah proses maskulinisasi yang selama ini sering
didengungkan gagal membawa dirinya bagi kesetaraan posisi dan status laki-laki
dan wanita dalam berbagai aktivitasnya, sehingga tiba saatnya kita tidak lagi
heran, kaget, dan penasaran jika ada kejahatan pemerkosaan, pembunuhan, dan
perampokan dilakukan oleh wanita.
Mungkin inilah yang memberikan kecurigaan kepada saya bahwa
ada jenis- jenis aktivitas tertentu bukan sekedar persoalan "kultur".
Katakanlah bahwa jangan- jangan berbagai aktivitas tersebut seperti mengenal
"jenis kelamin" (nature) pula. Ada
batas-batas tertentu bagi berbagai jenis aktivitas yang tidak dapat ditembus
bagi proses maskulinisasi. Ada
kesan batas-batas yang sifatnya "kodrati". Padahal mungkin saja
dalam proses sejarah yang panjang, kadang-kadang sesuatu yang kultural menjadi
sesuatu yang "natural".
Dalam dunia olahraga, sebagai contoh. Walaupun wanita tampak
terlibat di dalamnya, di barat sekalipun, tetapi tetap saja tidak ada olahraga
yang secara resmi mencampurkan laki-laki dan wanita dalam ruang dan waktu yang
sama untuk satu jenis kemenangan.
Apakah hal tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa
bagaimanapun juga pada dasarnya olahraga pada dasarnya "berjenis kelamin
laki-laki", sehingga maskulinisasi yang terjadi pada wanita tetap
mengalami keterbatasan yang tak dapat diatasi untuk disetarakan begitu saja
dengan kaum laki-laki.
Sebagai konsekuensi lebih jauh, bagaimana pula halnya dengan
tindakan kriminalitas disertai kekerasan. Apakah menyiratkan hal yang sama?
* * *
Sejauh ini, saya sendiri berharap apa yang diuraikan di atas
tidak terlalu salah. Dalam arti, walau mungkin berlebihan, saya berharap bahwa
kriminalitas memang bukan persoalan kultur semata. Diakui tentu saja ada
dialektika saling berpengaruh di dalamnya. Misalnya, bagaimana nilai-nilai dan
norma sosial budaya setempat (karena dominasi nilai-nilai maskulin) tetap
menempatkan wanita sebagai nature yang berbeda dengan laki-laki serta implikasi
lain yang terkait dengannya.
Sebagai resikonya, ada sisi-sisi tertentu dari perjuangan
pemberdayaan dan kesetaraan wanita-laki-laki tidak mengambil resiko untuk
terlibat dan berpartisipasi lebih jauh bagi proses menuju perebakan kriminal.
Justru yang perlu dipikirkan bagaimana mengambil peluang, mengingat populasi
wanita yang begitu besar, mengantisipasi kejahatan dengan kekerasan yang sejauh
ini didominasi oleh laki-laki.
Artinya, jika harapan tersebut sedikit banyak mengandung
kebenaran, maka paling tidak tetap membatasi kemungkinan bahwa wanita memiliki
hak dan peluang yang sama untuk berpartisipasi bagi aktivitas kriminalitas.
Karena jika yang satu ini juga tidak diperjuangkan untuk dipertahankan, dapat
dibayangkan jika pada akhirnya wanita terkondisi untuk juga melakukan tindakan
kriminalitas disertai kekerasan.
Harapan tersebut tentu saja bukan berarti ingin mengatakan
bahwa pada dasarnya laki-laki tetap saja memiliki hak dan peluang melakukan
tindakan kejahatan. Sebagai manusia yang "normal-normal saja",
bagaimanapun tentu saja saya tetap menolak kejahatan, apapun bentuknya, dari
manapun datangnnya. Apakah itu dilakukan oleh laki-laki, atau wanita. * * *
KORBAN-KORBAN KRIMINALITAS
Kita selalu diingatkan untuk juga memperhatikan para korban kejahatan yang selama ini agak terabaikan. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa ada kecenderungan selama ini masyarakat kita agak mengabaikan para korban kriminalitas. Hal tersebut barangkali berdasarkan asumsi bahwa bila sebuah kejahatan telah ditangani, dan pelaku kejahatan diproses sesuai dengan hukum, maka persoalan dianggap selesai.
Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu bagi korban
kejahatan. Memang, tentu saja penderitaan yang ditanggung korban kriminalitas
bergantung jenis kejahatan seperti apa yang menimpa dirinya. Walaupun begitu,
penyelesaian persoalan kriminalitas tidak semudah menangani dan menghukum
pelaku kejahatan. Para korban kejahatan justru
menuntut penanganan yang lebih serius, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan
yang dialami korban.
Dengan demikian, perlu kiranya mengidentifikasi siapakah
kiranya para korban kriminalitas itu, sesuai dengan bentuk dan sifat kejahatan
yang dialaminya. Secara umum Stephen Schafer (Zvonimir Paul Separovic, 1985)
membagi kemungkinan korban ke dalam empat tipe.
Pertama, orang yang sesungguhnya tidak bersalah, tetapi
tetap menjadi korban. Untuk kejadian seperti ini, kesalahan tetap pada pihak
pelaku. Kedua, korban yang secara sadar atau tidak melakukan aktivitas tertentu
sehingga memancing atau mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan,
terutama pada dirinya. Karena korban dianggap memberikan andil, maka korban dan
pelaku kejahatan sama-sama bersalah, walaupun kadarnya berbeda.
Ketiga, tipe korban yang secara biologis dan sosial memang
lemah, sehingga memudahkan orang lain berbuat tidak baik kepada mereka. Sebagai contoh, orang tua, anak-anak, orang
cacat fisik/mental, orang miskin, golongan minoritas, dan sebagainya. Dalam hal
ini korban tidak dapat disalahkan. Masyarakat dan pemerintahlah yang secara
keseluruhan harus bertanggung jawab.
Keempat, korban yang letak kesalahan justru ada pada
korbannya sendiri. Biasa juga disebut kejahatan tanpa korban selain dirinya
sendiri. Sebagai misal, pelacuran, perjudian, dan sejenisnya. Dalam hal ini
yang dianggap bersalah adalah si korban yang sekaligus pelaku kejahatan.
Menarik memperhatikan pembaganan "teoretik"
tipe-tipe korban di atas. Apalagi jika dikaitkan dengan bentuk kriminalitas seperti
apa yang paling dominan dan signifikan dalam masyarakat kita. Untuk itu, ada
baiknya satu persatu dikaji beserta implikasi "teoretik" lain yang
relevan dengannya.
Sebagai mana kita ketahui, korban jenis pertama di atas
bukan cerita yang asing dalam kehidupan sosial. Banyak orang menanggung
kesalahan orang lain baik secara terpaksa atau tidak. Jika itu pilihan yang
disadari, mungkin lebih sebagai resiko yang diambil korban. Namun, jika
kejadian tersebut karena terpaksa, misalnya karena tekanan sosial, politis,
dan ekonomis, maka kekuatan dan keobjektifan hukum perlu dipersoalkan.
Demikian pula jika hal itu terjadi karena tipu muslihat,
karena hukum (objektif) tidak mampu membuktikan secara empirik dan teoretik
mana yang bersalah dan mana yang tidak, maka dalam hal ini justru hukum yang
secara langsung atau tidak dijadikan legitimasi untuk tindak kejahatan lebih
lanjut bagi yang sesungguhnya melakukan kejahatan.
Korban kriminalitas jenis kedua barangkali lebih umum
dibanding yang pertama. Dalam arti, apapun bentuk kejahatan, apakah itu
pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penodongan, dan sebagainya, jika dapat
dibayangkan bahwa korban secara sengaja atau tidak ikut memberikan andilnya,
maka dalam konteks ini kejahatan menemukan sosok aslinya.
Saya kira, korban kajahatan bentuk ketiga yang secara luas
perlu diperhitungkan karena pada sisi tertentu bentuk kriminalitas ini menjadi
bagian besar dari bentuk kejahatan pertama dan kedua sekaligus. Maksudnya,
bentuk kejahatan seperti ini bukan saja dapat menjadi satu fenomena budaya yang
lebih besar, tetapi sekaligus memakan
korban yang lebih besar pula.
Sebagai contoh, korban kejahatan pemerkosaan, baik dalam
pengertian umum maupun khusus, bukan semata-mata terjadinya penindasan dan
pemaksaan atas satu pihak kepada pihak yang lain. Tetapi lebih karena adanya
budaya dominasi dan atau kekuasaan atas satu pihak yang kuat kepada pihak yang
lemah. Di samping tentu saja beberapa faktor lain yang juga perlu
diperhitungkan, yang berkaitan dengan "naluri dasar" kemanusiaan,
jika teori tersebut dapat dibenarkan.
Jika persoalan tersebut dikaitkan pada kejadian yang lebih
besar, sama halnya jika ada satu kekuasaan politik yang dominan (negara) yang
represif berhadapan dengan rakyat. Sebagai contoh lain perlu juga disebutkan
seperti terjadinya kolonialisasi, imperealisasi, intervensi atas satu bangsa
kepada bangsa yang lain.
Sementara itu, korban kejahatan keempat lebih sebagai
kesalahan dan kejahatan individual. Walaupun kejahatan ini memakan korban
dirinya sendiri, tetapi pada tingkat lebih lanjut akan berakibat pada kesalahan
dan kejahatan lain. Katakanlah seperti perjudian, minum minuman keras. Tidak
jarang kejahatan individual ini akan menyebabkan kejahatan lain yang berdimensi
sosial.
* * *
Sebagaimana telah disinggung, ada kriminalitas lain yang
lebih besar yang justru perlu diantisipasi sedemikian rupa karena kejahatan
tersebut justru mengondisikan secara makro bentuk kejahatan lainnya secara
berantai. Kejahatan tersebut adalah ketika ada unsur kekuasaan politik-ekonomis,
yang kita tahu pada akhirnya serba menentukan itu, ikut campur tangan untuk
kepentingan dirinya, yang ditempuh dengan segala cara. Apakah itu berbagai
bentuk kekerasan politik, penindasan ekonomis, dan sebagainya.
Karena, pelaku kejahatan tersebut, walau dalam hal ini bisa
saja disebut sebagai "oknum", pihak pelaku kejahatan memiliki
kekuatan (baca: kekuasaan) untuk melakukan apa saja, tanpa ada kekuatan lain
yang dapat mengimbangi atau mengatasinya kecuali kekuatan dan itikat dari pelaku
kejahatan tersebut. Atau mungkin pada sisi tertentu kontrol dari masyarakat.
Walaupun kadang-kadang, karena strukturasi dan sosialisasi politis-ekonomis
yang telah berlangsung, dapat pula melemahkan keberadaan dan kekuatan
masyarakat sebagai pihak pengontrol. Sehingga pada akhirnya masyarakat tinggal
pasrah menjadi korban terus menerus.
Mempelajari berbagai identitas korban dan implikasi yang
terkait dengan persoalan tersebut, maka selayaknya diupayakan terjadinya
struktur yang berimbang bukan saja dalam pengertian terjadinya demokratisasi,
keadilan moral dan material, tetapi sekaligus kepastian hukum yang didukung
oleh satu sistem kekuasaan yang demokratis agar calon korban dan korban
mendapat perlindungan yang semestinya yang memang merupakan haknya.
Karena, seperti juga kita tahu, berbagai bentuk kejahatan
tidak semata-mata karena kejahatan itu sendiri. Akan tetapi, ada motif-motif
lain apakah itu berbau ekonomis, politis, atau agama. Seperti katakanlah pula
berbagai bentuk kerusuhan massa yang tidak mustahil sebagai korban yang
melakukan "kejahatan" karena mereka merupakan korban
"kejahatan" yang lebih besar.
Artinya, berbagai kerusuhan dan kebringasan massa yang terjadi
akhir-akhir ini misalnya, sebagai bentuk perlawanan, dalam berbagai motifnya.
Karena bukan hal mustahil jika sesungguhnya mereka adalah para korban yang
sedang melakukan upaya-upaya "revolusioner" untuk memperbaiki keadaan
agar kehidupan menjadi lebih baik.
Minimal, jika tujuan itu tidak tercapai, tidak sedikit orang
atau masyarakat yang ketika ia melakukan aktivitas tertentu, dan kemudian
aktivitas tersebut ternyata dianggap di luar prosedur, atau merugikan, atau
mendatangkan korban pada pihak lain, sedikit banyak bertujuan agar realitas
berpihak sesuai dengan apa yang bisa mereka bayangkan.
Itulah sebabnya, pada akhirnya, kita tidak dapat menyalahkan
begitu saja berbagai pelaku kejahatan dan, lebih-lebih korban kejahatan, yang
ditempatkan sebagai sasaran tunggal kesalahan ketika ada satu realitas sosial
yang dalam perspektif apapun adalah kesalahan, merugikan, dan oleh karenanya
sedapat mungkin dihindari, diredam, atau bahkan ditindas dengan kekerasan. * *
*
KRIMINALITAS TERSELUBUNG
Pada dasarnya aspek kriminalitas itu ada dua, yaitu kriminalitas terbuka dan yang tertutup. Ada semacam anekdot dalam diskursus kriminologi, bahwa sebetulnya teori-teori yang dikembangkan dalam kriminologi itu tidak cukup canggih. Hal tersebut terjadi karena data kejahatan yang dijadikan bahan kajian adalah bentuk kejahatan yang juga tidak begitu canggih (Bdk. Stephan Hurwitz, 1986).
Mengapa dikatakan sebagai kejahatan yang kurang canggih?
Karena seandainya kejahatan itu canggih, maka kejahatan itu justru
terselubung, tidak diketahui, tidak terdeteksi, atau minimal kejahatan yang
tidak dilaporkan. Itu artinya, sejauh ini berbagai kejahatan yang dikaji adalah
kejahatan yang terpantau, dapat diketahui, yang tertangkap, yang tidak canggih.
Yang tidak diketahui tentu saja sulit untuk dikaji, walau mungkin saja masih
tetap dapat diperhitungkan. Itupun hanya dengan berbagai perkiraan dan
prasangka.
Bagian ini mencoba mempersoalkan sampai sejauh mana
sesungguhnya kejahatan terselubung itu berdampak serius bagi masyarakat,
bahkan bila dibanding kejahatan terbuka sekalipun.
* * *
Seperti diketahui, ada beberapa bentuk kejahatan
terselubung. Pertama, kejahatan itu pada umumnya tidak dilaporkan kepada pihak
berwenang. Apakah karena jika dilaporkan justru tidak menyelesaikan masalah,
urusan menjadi berbelit-belit, atau justru mendatangkan aib yang lebih besar.
Sebagai contoh kriminalitas seksual, atau katakanlah korban perkosaan.
Kedua, kejahatan sosial sebagai implikasi dari struktur dan
birokrasi sosial budaya itu sendiri. Sebagai contoh, apakah itu korupsi waktu,
uang (kuitansi asli tapi palsu, tahu sama tahu), beberapa aspek yang kita kenal
sebagai ma lima,
yang sejauh ini karena sudah menjadi semacam tradisi, maka bahkan kita sering
lupa kalau prilaku itu sesungguhnya adalah kejahatan. Karenanya sama sekali
hampir tanpa kontrol dan selalu mampu menyembunyikan dirinya.
Ketiga, yang hanya dapat diketahui bahwa ada kejahatan di
mana saja dan kapan saja, tetapi sulit mempersoalkannya. Seperti halnya
kejahatan pertama, sebagai contoh atasan menindas bawahan, adanya semacam
ketidakadilan, atau bahkan kejahatan pada umumnya. Akan tetapi, memang tidak
dapat diketahui, yang karena kecanggihannya kejahatan tersebut nyaris selalu
tanpa bukti.
Keempat, mungkin ini kejahatan terselubung yang relatif
paling berdampak. Yaitu kejahatan yang berbau politik dan kekuasaan. Misalnya
digunakannya berbagai bentuk kekerasan untuk tujuan politik. Tetapi anehnya,
terpaksa atau tidak kita sering mengatakannya dalam rangka menjaga stabilitas
nasional, sehingga perbincangan yang berkaitan dengan kekerasan politik selalu
mampu memanipulasi dirinya untuk tidak diketahui masyarakat banyak.
Namun demikian, kejahatan tersembunyi sesungguhnya bukan
semata-mata karena kecanggihan kejahatan itu sendiri. Paling tidak ada dua
sebab mengapa kejahatan itu selalu luput dari deteksi dan pantauan. Pertama,
seperti kejahatan pemerkosaan yang tidak dilaporkan misalnya. Ada suatu nilai budaya
tertentu yang membuat pihak korban lebih takut pada aib jika kasus itu
diketahui oleh masyarakat luas daripada derita yang harus ditanggungnya secara
pribadi.
Letak kelebihan pelaku kejahatan ini diperkirakan mengetahui
kemungkinan psikologis itu. Kemudian secara sengaja atau tidak memanfaatkannya,
karena dipandang lebih aman. Itulah sebabnya, banyak data kejadian perkosaan
yang diperkirakan terselubung itu terjadi secara interen dalam keluarga, mereka
yang saling kenal, atau keadaan yang kondusif karena pelaku kejahatan memahami
seluk beluk korban maupun keadaan/tempat tindakan kejahatan itu dilakukan.
Kedua, berkaitan dengan sistem, struktur, dan birokrasi,
sehingga korban kejahatan merasa tidak ada untungnya jika mempersoalkan
kejahatan yang menimpa dirinya, bahkan merugi. Artinya, persoalan yang akan
diurus dan dihadapi, kadang- kadang tidak sebanding dengan kerugian yang
diderita seseorang. Bermaksud mengurus uang yang kecopetan lima puluh ribu rupiah malah bisa hilang
sejuta rupiah. Itu artinya, sistem, struktur, dan birokrasi yang dibangun
justru berjalan paralel dengan kejahatan terselubung yang selama ini menghantui
kita
Ketiga, demi kepentingan yang lebih besar sehingga berbagai
kasus kejahatan yang mengganggu "stablitas nasional" sedapat mungkin
diredam, disembunyikan, atau memang terselubung, sehingga tidak dapat
dipelajari secara objektif dan terbuka oleh masyarakat banyak.
Persoalannya adalah indikasi apa saja yang memungkinkan
untuk mengetahui bahwa kriminalitas terselubung sesungguhnya secara terus
menerus menteror masyarakat. Hal tersebut dapat diketahui ketika tanpa
disadari atau tidak masyarakat mengalami ketakutan (dalam pengertiannya yang
luas), perasaan penuh prasangka, tidak merasa merdeka dan leluasa sebagai
manusia, terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara pasti kekuatan apa yang
sesungguhnya mencengkramnya.
Sebagai akibatnya, jika hal tersebut dibiarkan terus menerus,
tentu saja sangat berdampak bagi; apakah itu pembangunan manusia Indonesia "seutuhnya", atau
pembangunan nasional Indonesia
secara umum. Paling tidak masyarakat Indonesia tidak memiliki keberanian
maksimal mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya secara terbuka, karena
mengalami keterbatasan dan ketakutan tertentu apakah itu berhadapan dengan
wacana politik, ekonomi, sosial, dan nilai-nilal budaya.
Persoalan tersebut tentu saja bukan hanya terjadi di Indonesia.
Hampir di semua negara di dunia ini menghadapi problem yang sama dengan kadar
komplikasi yang berbeda sesuai dengan konteks dan kecenderungan negara
bersangkutan. Di Amerika contohnya, secanggih apapun aparat dan teknologi
keamanannya, tetap saja kriminalitas tersembunyi tidak kalah banyaknya dengan
kejahatan yang terungkap.
Ironisnya, semakin canggih aparat dan peralatan anti
kejahatan yang mendukungnya, maka semakin canggih pula jenis kejahatan yang
muncul karena ia selalu mencoba untuk mengatasinya. Dari sini dapat pula
diperhitungkan bahwa kualitas (cara) kejahatan tersembunyi di negara maju
relatif lebih canggih dibanding dengan yang belum maju. Atau katakanlah pula
rata-rata kualitas kejahatan yang terungkap di negara maju juga relatif lebih
baik dibanding di negara yang belum maju. Apakah ini kemudian juga berpengaruh
pada pengembangan analisis teoretik maupun operasionalisasinya di lapangan,
merupakan problem tersendiri.
Namun, yang lebih penting dari itu adalah akibat dan
implikasinya kepada masyarakat yang tentu saja berbeda-beda. Artinya, minimal
perlu pula diperhitung kan
daya tahan masyarakat berhadapan dengan ancaman kejahatan terselubung yang bak
hantu gentayangan merongrong "hati nurani" masyarakatnya pada suatu
proses kriminalisasi. Jika tidak mendapat perhatian serius untuk ditanggulangi
tidak mustahil kejahatan tersembunyi itu menyelusup dalam diri masyarakat
menjadi kriminalisme.
* * *
Lebih jauh, apa yang dapat dikerjakan untuk sedikit banyak
mengatasi atau mengantisipasi kriminalitas terselubung itu. Berangkat dari beberapa
uraian di atas mungkin ada beberapa hal yang dapat dijadikan agenda buat kita
untuk direalisasikan.
Pertama, menumbuhkan kesadaran kritis, rasional, dan
keberanian perlawanan dalam diri masyarakat untuk mempersoalkan hal-hal yang
menghalangi terungkapnya kriminalitas terselubung. Itu artinya, pada tingkat
tertentu masyarakat juga harus memiliki keberanian untuk berhadapan dengan
sistem, struktur, dan birokrasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
mengenkang.
Kedua, hal demikian sekaligus akan membantu tegaknya hukum yang diberlakukan.
Karena pada akhirnya yang menjadi benteng terakhir apakah kejahatan (terselubung)
itu semakin merajalela atau tidak justru ketika bagaimana kita secara keseluruhan
memperlakukan hukum. Kalau hukum sendiri mengalami kooptasi berhadapan dengan
kepentingan dan kekuatan tertentu yang lebih besar, sulit berharap berbagai
bentuk kriminalitas dapat dikurangi.
Ketiga, hal tersebut muskil tercapai jika tidak mendapat
dukungan dari pemerintah. Apakah itu berkaitan dengan kehidupan politik yang
terbuka dan transparan, demokratisasi, serta penghargaan yang tinggi terhadap
hak asasi dan hak rasa aman masyarakat yang sepantasnya dijunjung tinggi,
dilindungi, dan dihormati. * * *
Langganan:
Postingan (Atom)