Minggu, 29 April 2012

MASYARAKAT DAN PARADIGMA KRIMINALITAS


Tidak jarang di dalam berbagai percakapan, muncul pertanyaan aneh. Jika Anda membaca koran atau majalah, berita atau rubrik apa yang paling dahulu Anda baca?. Kalau saya yang ditanya, maka dengan tidak ragu-ragu saya akan menjawab berita-berita kriminal. Seperti halnya pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, peram­pokan, perselingkuhan, korupsi, bunuh diri karena putus cinta, dll. (Dan ini pula yang menyebabkan saya sangat tertarik membicarakan masalah-masalah kejahatan).

Saya tidak tahu, apakah jawaban itu dianggap sakit atau tidak. Saya juga tidak perlu berprasangka bahwa sebetulnya sebagian besar orang memiliki kecenderungan yang serupa dengan saya. Akan tetapi, saya memang menduga, jika berita-berita kriminal bukan sesuatu yang penting, mengapa hampir semua media massa memberi­takannya? Bahkan dalam teori jurnalistik, dia menjadi salah satu tema penting apakah sebuah berita bernilai berita atau tidak (Assegaff, 1985).

* * *
Secara sederhana, kriminalitas, atau biasa juga disebut kejahatan adalah tinda­kan yang melanggar nilai-nilai kebaikan bahkan "kesucian", yang disepakati oleh mayoritas masyarakat pendukungnya, dan biasanya berdasarkan ajaran agama atau etika tertentu, atau bahkan adat istiadat setempat.

Tentu saja definisi sederhana itu sama sekali tidak memadai. Karena, cukup banyak prilaku yang dianggap melanggar nilai-nilai kebaikan dan "kesucian", tidak dianggap sebagai kejahatan. Perbuatan melacur, minum minuman keras, berjudi, (dalam budaya Jawa dikenal ma lima) misalnya, walau hingga hari ini tetap dianggap perbuatan tidak baik dan salah, tetapi sepertinya "tidak" dianggap sebagai perilaku kejahatan (Bdk. Magnis-Suseno, 1985). Kalau suatu kali ada kasus sehingga harus berurusan dengan aparat kepolisian, yang dipersoalkan bukan perbuatan melacur atau berjudinya, tetapi lebih pada implikasi dari perbuatan melacur, berjudi, atau mabuk. (Padahal yang kita musuhi adalah kejahatan, sehingga jangan heran jika perbuatan seperti itu seolah tak akan pernah teratasi).

Lain halnya jika kita membacok orang, baik dalam keadaan sadar atau tidak. Dengan serta merta perbuatan tersebut diangap sebagai kejahatan. Walaupun, per­buatan membacok, bahkan hingga membunuh, jika terbukti karena membela diri atau terpaksa, dapat dianggap bukan kejahatan. Ini memperlihatkan bahwa perilaku yang sebelumnya dianggap jahat, bisa berubah karena kondisi-kondisi tertentu. Ada kondi­si-kondisi keterpaksaan yang diakui dapat menetralisir suatu perbuatan dianggap jahat atau tidak.

Lain lagi dengan perbuatan perkosaan seksual. Rasanya, tidak ada istilah seseorang terpaksa memperkosa dalam arti yang sesungguhnya. Terhadap kasus ini sangat sulit menetralisir perbuatan pemerkosaan hingga pada titik tertentu ia tidak dianggap sebagai kejahatan. Karena jika demikian halnya, dia bukan lagi pemerko­saan, tapi cuma perzinahan. Batas antara perkosaan dan perzinaan kadang-kadang memang tipis.

Andaikan pula kasus pencurian. Jika ternyata tidak ada pihak atau seseorang yang merasa miliknya tercuri, tidak ada alasan yang dapat dijadikan argumen bahwa perbuatan itu adalah kejahatan. Percurian tersebut, seperti halnya ma lima, hanya dianggap bersalah secara internal, terutama dalam perspektif agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ada istilah lain yang biasa disebut dosa.

Berangkat dari berbagai ilustrasi di atas, diakui bahwa begitu banyak dimensi suatu tindakan yang melanggar nilai-nilai kebaikan, sebagai kesalahan, tetapi belum tentu sebagai kejahatan. Suatu tindakan baru dapat dikatakan kriminal jika terjadi perugian, penyakitan, pengorbanan, pemaksaan, dan sejenisnya, atas satu pihak kepada pihak lain, sekaligus secara hukum (positif) perbuatan tersebut harus pula terbukti.   

* * *
Dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun yang berkaitan dengan wacana krimi­nalitas, ia selalu berdimensi sosial. Bunuh diri misalnya, walau terkesan sebagai kejahatan individual, tetapi hal tersebut terjadi karena ada lingkaran atau kondisi sosial yang memungkinkannya.

Itulah sebabnya, muncul pertanyaan berikut. Adakah sisi lain yang perlu dimaklumi dari kriminalitas. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan suatu penjelasan bahwa kriminalitas memiliki paradigma tersendiri yang dikondisikan seluruh dimensi bermasyarakat, sehingga pada akhirnya berperan besar apakah seseorang menjadi pembunuh, pemerkosa, koruptor, atau sekadar pengemis jalanan. Tidak terkecuali sebaliknya.

Mengikuti tesis tersebut, tidak mustahil masyarakat, terlebih-lebih pemerintah, selayaknya ikut bertanggung jawab untuk menanggung sejumlah "dosa sosial"  kejahatan dalam segala maknanya. Itu artinya, kesadaran bagi upaya-upaya demokra­tisasi dan toleransi terhadap kejahatan seharusnya memegang peranan yang berarti bagi pendakwaan jenis-jenis kesalahan ketika seseorang terbukti tidak memiliki peluang besar untuk tidak berbuat kejahatan.

Logikanya cuma sederhana. Seorang pejabat melakukan korupsi bukanlah jenis kejahatan yang begitu saja bisa disamakan dengan seseorang mencopet sejumlah uang yang mana uang copetan tersebut menentukan keberlangsungan hidupnya atau mati kelaparan. Artinya, ada jenis kejahatan yang kemungkinan dapat dihindari jauh lebih besar dari satu kejadian dibanding  dengan yang lain.

Sekali lagi, diandaikan pula memperbandingkan jenis kejahatan pembunuhan dan pemerkosaan. Pertama, dari segi perhitungan kerugian material dan nonmaterial dari dua jenis kejahatan itu. Pemerkosaan, bagaimanapun adalah kejahatan karena secara langsung atau tidak telah terjadi penindasan, pemaksaan, perugian, pesakitan, atas satu pihak kepada pihak lain yang dalam perspektif apapun dianggap melanggar konsensus nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan.

Mungkin dalam arti lain telah terjadi pula semacam "pembunuhan" nonmateri­al terhadap masa depan yang diperkosa. Namun, tetap saja perkosaan bukan sebagai pembunuhan dalam arti yang sesungguhnya. Pembunuhan telah memotong habis semua peluang yang mungkin saja dapat terjadi bagi terbunuh, tidak pada pemerko­saan.

Kedua, mengkaji kemungkinan ada "kerja sama" antara yang diperkosa dan yang memperkosa. Suatu hal yang mungkin tidak terjadi dalam pembunuhan. Meli­hat peluang itu, sesungguhnyalah pemerkosaan lebih demokratis dibanding pembu­nuhan. Lebih jauh, jika itu yang terjadi, maka sekecil apapun peluang "kerja sama" itu, yang terjadi dalam perkosaan adalah sekadar melakukan "demokratisasi" yang diletakkan bukan pada tempatnya.

Ketiga, walaupun kemungkinan ini juga sangat kecil yakni diandaikan terjadi distribusi "kenikmatan". Walau saya sendiri berharap anggapan saya ini salah. Kenyataan tersebut didukung suatu kesadaran terhadap peluang untuk mencari "kenikmatan" dengan cara yang normal menemui berbagai kendala. Apakah itu berkaitan dengan persoalan ekonomis, sosial, atau psikologis. 

Keempat, kemungkinan bias-bias lain. Bahwa secara luas tindakan kriminal sesungguhnya, sengaja/disadari atau tidak, bagian dari perlawanan tersembunyi terhadap realitas yang dianggapnya tidak berpihak secara ramah dan adil pada pelaku kejahatan, sehingga tak ada salahnya ia beritikat merubah realitas itu agar berpihak kepadanya.

Uraian di atas memang baru memperbandingkan dua bentuk kejahatan. Tentu saja bisa pula memperbandingkan antara satu bentuk kejahatan dibanding dengan yang lain. Antara penipuan dan korupsi, antara perampokan dan perselingkuhan, antara pembantaian dan bunuh diri, bahkan antara kejahatan politik dan pencurian ayam.


* * *
Dengan begitu, tanpa bermasuk bermain-main dengan semantik, saya agak membedakan kesalahan sebagai kejahatan dan kesalahan sebagai semata-mata kesala­han. Ilustrasi sebagai berikut.

Pertama, jika seorang bocah kanak-kanak menjawab tiga kali lima sama dengan tujuh belas, maka itu sebuah kesalahan, bukan kejahatan, terlepas di da­lamnya ada unsur kesengajaan atau tidak. Si bocah tidak merugikan siapapun. Dia hanya melanggar suatu aturan main internal, suatu rumus-rumus yang dibakukan. Ia hanya merugikan dirinya sendiri jika itu dikaitkan dengan sistem evaluasi tertentu.

Kedua, kejahatan pastilah sebuah kesalahan, tetapi itu tidak dapat dikenakan sebaliknya. Mengingat uraian di atas, serta kondisi makro lainnya yang memungkin­kan terjadinya kejahatan, maka siapa pun ia yang berdiri sebagai korban (baca: masyarakat), maka sepantasnya ikut menanggung "dosa sosial" atas partisipasi langsung atau tidak terhadap terjadinya kejahatan. Walaupun di sisi lain sesungguhn­ya ia juga sebagai korban. 

Ketiga, selayaknya pula kita membedakan setiap jenis dan kasus, apakah suatu kesalahan memang sebuah kejahatan atau sebaliknya. Ini berkaitan dengan adanya persepsi di masyarakat kita bahwa kesalahan identik dengan kejahatan. Padahal begitu banyak hal yang masih perlu dikaji dan diperhitungkan sehingga logika premis tersebut tidak harus demikian.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika diperlukan perlakuan khusus kepada orang yang dianggap melakukan kesalahan, karena pada tingkat tertentu perbuatan tersebut seperti pinang dibelah dua dengan prilaku  kejahatan. Persoalannya, menga­pa harus melakukan kesalahan yang tidak perlu. Karena, perbuatan apapun itu, kesalahan adalah kebodohan. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar