Tidak jarang di dalam berbagai percakapan, muncul pertanyaan
aneh. Jika Anda membaca koran atau majalah, berita atau rubrik apa yang paling
dahulu Anda baca?. Kalau saya yang ditanya, maka dengan tidak ragu-ragu saya
akan menjawab berita-berita kriminal. Seperti halnya pembunuhan, pemerkosaan,
penipuan, perampokan, perselingkuhan, korupsi, bunuh diri karena putus cinta,
dll. (Dan ini pula yang menyebabkan saya sangat tertarik membicarakan
masalah-masalah kejahatan).
Saya tidak tahu, apakah jawaban itu dianggap sakit atau
tidak. Saya juga tidak perlu berprasangka bahwa sebetulnya sebagian besar orang
memiliki kecenderungan yang serupa dengan saya. Akan tetapi, saya memang
menduga, jika berita-berita kriminal bukan sesuatu yang penting, mengapa hampir
semua media massa
memberitakannya? Bahkan dalam teori jurnalistik, dia menjadi salah satu tema
penting apakah sebuah berita bernilai berita atau tidak (Assegaff, 1985).
* * *
Secara sederhana, kriminalitas, atau biasa juga disebut
kejahatan adalah tindakan yang melanggar nilai-nilai kebaikan bahkan
"kesucian", yang disepakati oleh mayoritas masyarakat pendukungnya,
dan biasanya berdasarkan ajaran agama atau etika tertentu, atau bahkan adat
istiadat setempat.
Tentu saja definisi sederhana itu sama sekali tidak memadai.
Karena, cukup banyak prilaku yang dianggap melanggar nilai-nilai kebaikan dan
"kesucian", tidak dianggap sebagai kejahatan. Perbuatan melacur,
minum minuman keras, berjudi, (dalam budaya Jawa dikenal ma lima) misalnya, walau hingga hari ini tetap
dianggap perbuatan tidak baik dan salah, tetapi sepertinya "tidak"
dianggap sebagai perilaku kejahatan (Bdk. Magnis-Suseno, 1985). Kalau suatu
kali ada kasus sehingga harus berurusan dengan aparat kepolisian, yang
dipersoalkan bukan perbuatan melacur atau berjudinya, tetapi lebih pada
implikasi dari perbuatan melacur, berjudi, atau mabuk. (Padahal yang kita
musuhi adalah kejahatan, sehingga jangan heran jika perbuatan seperti itu
seolah tak akan pernah teratasi).
Lain halnya jika kita membacok orang, baik dalam keadaan
sadar atau tidak. Dengan serta merta perbuatan tersebut diangap sebagai
kejahatan. Walaupun, perbuatan membacok, bahkan hingga membunuh, jika terbukti
karena membela diri atau terpaksa, dapat dianggap bukan kejahatan. Ini
memperlihatkan bahwa perilaku yang sebelumnya dianggap jahat, bisa berubah
karena kondisi-kondisi tertentu. Ada
kondisi-kondisi keterpaksaan yang diakui dapat menetralisir suatu perbuatan
dianggap jahat atau tidak.
Lain lagi dengan perbuatan perkosaan seksual. Rasanya, tidak
ada istilah seseorang terpaksa memperkosa dalam arti yang sesungguhnya.
Terhadap kasus ini sangat sulit menetralisir perbuatan pemerkosaan hingga pada
titik tertentu ia tidak dianggap sebagai kejahatan. Karena jika demikian
halnya, dia bukan lagi pemerkosaan, tapi cuma perzinahan. Batas antara perkosaan
dan perzinaan kadang-kadang memang tipis.
Andaikan pula kasus pencurian. Jika ternyata tidak ada pihak
atau seseorang yang merasa miliknya tercuri, tidak ada alasan yang dapat
dijadikan argumen bahwa perbuatan itu adalah kejahatan. Percurian tersebut,
seperti halnya ma lima,
hanya dianggap bersalah secara internal, terutama dalam perspektif
agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ada istilah lain yang
biasa disebut dosa.
Berangkat dari berbagai ilustrasi di atas, diakui bahwa
begitu banyak dimensi suatu tindakan yang melanggar nilai-nilai kebaikan,
sebagai kesalahan, tetapi belum tentu sebagai kejahatan. Suatu tindakan baru
dapat dikatakan kriminal jika terjadi perugian, penyakitan, pengorbanan,
pemaksaan, dan sejenisnya, atas satu pihak kepada pihak lain, sekaligus secara
hukum (positif) perbuatan tersebut harus pula terbukti.
* * *
Dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun yang berkaitan dengan
wacana kriminalitas, ia selalu berdimensi sosial. Bunuh diri misalnya, walau
terkesan sebagai kejahatan individual, tetapi hal tersebut terjadi karena ada
lingkaran atau kondisi sosial yang memungkinkannya.
Itulah sebabnya, muncul pertanyaan berikut. Adakah sisi lain
yang perlu dimaklumi dari kriminalitas. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan suatu
penjelasan bahwa kriminalitas memiliki paradigma tersendiri yang dikondisikan
seluruh dimensi bermasyarakat, sehingga pada akhirnya berperan besar apakah
seseorang menjadi pembunuh, pemerkosa, koruptor, atau sekadar pengemis jalanan.
Tidak terkecuali sebaliknya.
Mengikuti tesis tersebut, tidak mustahil masyarakat,
terlebih-lebih pemerintah, selayaknya ikut bertanggung jawab untuk menanggung
sejumlah "dosa sosial"
kejahatan dalam segala maknanya. Itu artinya, kesadaran bagi upaya-upaya
demokratisasi dan toleransi terhadap kejahatan seharusnya memegang peranan
yang berarti bagi pendakwaan jenis-jenis kesalahan ketika seseorang terbukti
tidak memiliki peluang besar untuk tidak berbuat kejahatan.
Logikanya cuma sederhana. Seorang pejabat melakukan korupsi
bukanlah jenis kejahatan yang begitu saja bisa disamakan dengan seseorang
mencopet sejumlah uang yang mana uang copetan tersebut menentukan
keberlangsungan hidupnya atau mati kelaparan. Artinya, ada jenis kejahatan yang
kemungkinan dapat dihindari jauh lebih besar dari satu kejadian dibanding dengan yang lain.
Sekali lagi, diandaikan pula memperbandingkan jenis
kejahatan pembunuhan dan pemerkosaan. Pertama, dari segi perhitungan kerugian
material dan nonmaterial dari dua jenis kejahatan itu. Pemerkosaan,
bagaimanapun adalah kejahatan karena secara langsung atau tidak telah terjadi
penindasan, pemaksaan, perugian, pesakitan, atas satu pihak kepada pihak lain
yang dalam perspektif apapun dianggap melanggar konsensus nilai-nilai
kemanusiaan dan kebaikan.
Mungkin dalam arti lain telah terjadi pula semacam
"pembunuhan" nonmaterial terhadap masa depan yang diperkosa. Namun,
tetap saja perkosaan bukan sebagai pembunuhan dalam arti yang sesungguhnya.
Pembunuhan telah memotong habis semua peluang yang mungkin saja dapat terjadi
bagi terbunuh, tidak pada pemerkosaan.
Kedua, mengkaji kemungkinan ada "kerja sama"
antara yang diperkosa dan yang memperkosa. Suatu hal yang mungkin tidak terjadi
dalam pembunuhan. Melihat peluang itu, sesungguhnyalah pemerkosaan lebih
demokratis dibanding pembunuhan. Lebih jauh, jika itu yang terjadi, maka
sekecil apapun peluang "kerja sama" itu, yang terjadi dalam perkosaan
adalah sekadar melakukan "demokratisasi" yang diletakkan bukan pada
tempatnya.
Ketiga, walaupun kemungkinan ini juga sangat kecil yakni
diandaikan terjadi distribusi "kenikmatan". Walau saya sendiri
berharap anggapan saya ini salah. Kenyataan tersebut didukung suatu kesadaran
terhadap peluang untuk mencari "kenikmatan" dengan cara yang normal
menemui berbagai kendala. Apakah itu berkaitan dengan persoalan ekonomis,
sosial, atau psikologis.
Keempat, kemungkinan bias-bias lain. Bahwa secara luas
tindakan kriminal sesungguhnya, sengaja/disadari atau tidak, bagian dari
perlawanan tersembunyi terhadap realitas yang dianggapnya tidak berpihak secara
ramah dan adil pada pelaku kejahatan, sehingga tak ada salahnya ia beritikat
merubah realitas itu agar berpihak kepadanya.
Uraian di atas memang baru memperbandingkan dua bentuk
kejahatan. Tentu saja bisa pula memperbandingkan antara satu bentuk kejahatan
dibanding dengan yang lain. Antara penipuan dan korupsi, antara perampokan dan
perselingkuhan, antara pembantaian dan bunuh diri, bahkan antara kejahatan
politik dan pencurian ayam.
* * *
Dengan begitu, tanpa bermasuk bermain-main dengan semantik,
saya agak membedakan kesalahan sebagai kejahatan dan kesalahan sebagai
semata-mata kesalahan. Ilustrasi sebagai berikut.
Pertama, jika seorang bocah kanak-kanak menjawab tiga kali lima sama dengan tujuh
belas, maka itu sebuah kesalahan, bukan kejahatan, terlepas di dalamnya ada
unsur kesengajaan atau tidak. Si bocah tidak merugikan siapapun. Dia hanya
melanggar suatu aturan main internal, suatu rumus-rumus yang dibakukan. Ia
hanya merugikan dirinya sendiri jika itu dikaitkan dengan sistem evaluasi
tertentu.
Kedua, kejahatan pastilah sebuah kesalahan, tetapi itu tidak
dapat dikenakan sebaliknya. Mengingat uraian di atas, serta kondisi makro
lainnya yang memungkinkan terjadinya kejahatan, maka siapa pun ia yang berdiri
sebagai korban (baca: masyarakat), maka sepantasnya ikut menanggung "dosa
sosial" atas partisipasi langsung atau tidak terhadap terjadinya
kejahatan. Walaupun di sisi lain sesungguhnya ia juga sebagai korban.
Ketiga, selayaknya pula kita membedakan setiap jenis dan
kasus, apakah suatu kesalahan memang sebuah kejahatan atau sebaliknya. Ini
berkaitan dengan adanya persepsi di masyarakat kita bahwa kesalahan identik
dengan kejahatan. Padahal begitu banyak hal yang masih perlu dikaji dan
diperhitungkan sehingga logika premis tersebut tidak harus demikian.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika diperlukan perlakuan
khusus kepada orang yang dianggap melakukan kesalahan, karena pada tingkat
tertentu perbuatan tersebut seperti pinang dibelah dua dengan prilaku kejahatan. Persoalannya, mengapa harus
melakukan kesalahan yang tidak perlu. Karena, perbuatan apapun itu, kesalahan
adalah kebodohan. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar